Islam dan Ilmu Pengetahuan
Islam dan Ilmu Pengetahuan
Islam dan ilmu pengetahuan bukanlah dua hal yang bertentangan atau harus dipisahkan. Bahkan Islam sangat mewajibkan umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu pengetahuan dan mengamalkannya.
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN
Salah satu perintah Allah bagi hamba-hamba-Nya ialah kewajiban menuntut ilmu pengetahuan sebagaimana yang tersurat dalam Al-quran Surat At-taubah QS. 9: 122;
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Pengertian yang kita petik dari ayat ini bahwasanya menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah (amar) sehingga dapat dikatakan suatu kewajiban. Yang dimaksud ilmu pengetahuan di sini adalah ilmu agama. Akan tetapi harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama tidak semata ilmu yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang mengarah kepada duniawi.
Dengan kata lain bahwa Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menuntut ilmu pengetahuan tentang urusan keduniaan sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama, yakni untuk kebahagiaan dan kemaslahatan. Pengertian ini kita dasarkan atas kenyataan bahwa dunia merupakan ajang perjuangan hidup dan kehidupan dalam menghadapi persoalan yang harus dipecahkan dan memerlukan kontribusi ilmu pengetahuan.
Alquran surat Al-Mujaadilah, QS. 58: 11;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang- lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang- orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang dibarengi dengan iman diberikan derajat atau status. Namun dibalik itu dituntut mampu berpikir dalam memecahkan persoalan kehidupan.
Dalam kaitannya manusia sebagai makhluk berpikir (Ulil al-bab). Berpikir merupakan kegiatan psikis manusia. Dengan berpikir diharapkan manusia mampu menghadapi permasalahan hidupnya. Kualitas berpikir, akan menentukan kualitas manusia. Berpikir ilmiah merupakan metode berpikir kontemporer. Bagaimana konsep berpikir ilmiah dalam perspektif ajaran Islam?
Di dalam Al-quran terdapat sejumlah ayat yang bernada mencibirkan orang-orang yang tidak mau berpikir atau menggunakan akalnya. Sebaliknya orang-orang yang berpikir atau menggunakan akalnya dikelompokkan sebagai orang yang bersikap terpuji. Orang-orang yang tidak menggunakan akalnya identik dengan orang-orang kafir. Menurut hasil penelitian Abdu al- Baqy (1945), ada 50 ayat yang tersebar di beberapa surat dalam Alquran yang menjelaskan tentang hal itu. Di antara ayat-ayat yang mencela orang- orang yang tidak menggunakan akalnya (laa ya’qiluun) seperti: Al-Hasyr (59): 14; Al-Hujuraat (49): 4; Az-Zumar (39): 43; Yaa Siin (36): 68; Al- Ankabut (29): 63. Sementara pujian terhadap orang yang menggunakan akalnya (ya’qiluun) di antaranya: Al-Jaatsiyah (45): 5; Ar-Ruum (30): 24 dan 28; Al-Ankabut (29): 35; dan Al-Hajj (22): 46.
Salah satu dari sekian ayat tersebut yaitu surat Al-Furqaan: 43-44 dinukil secara utuh berikut ini. QS. Al-Furqaan (25): 43 – 44;
اَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُۗ اَفَاَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكِيْلًا ۙ
اَمْ تَحْسَبُ اَنَّ اَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ اَوْ يَعْقِلُوْنَۗ اِنْ هُمْ اِلَّا كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ سَبِيْلًا ࣖ
Artinya: Bukankah Anda telah mengetahui tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu mau menjadi pemimpin atasnya (43)? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau menggunakan akalnya? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (44).
Pada ayat tersebut, dikemukakan bahwa agar orang-orang mukmin tidak terpesona dengan sekelompok orang yang menjadikan subjektif atau egonya sebagai ilah (motivator/penggerak). Mereka yang demikian itu dinyatakan sebagai model manusia yang tidak memerankan pendengaran dan akalnya. Dengan nada tandas dan lugas Allah menegur orang yang tidak berpikir dengan teguran yang cukup pedas. Mereka itu dinyatakan sebagai binatang piaraan atau ternak, bahkan lebih dari itu. Berangkat dari landasan pijak tersebut, maka berpikir merupakan suatu keharusan bagi setiap orang yang mau menggapai mahligai kehidupan terhormat. Orang yang menghalangi atau melarang berpikir adalah menggiring manusia ke lembah kebinatangan, berarti mereka itu musuh Allah, dan manusia.
Berpikir artinya mengingat atau mencermati sesuatu. Ingat artinya sadar lawannya adalah lupa. Ingatan berarti kesadaran. Mengingat artinya mengerahkan potensi saraf untuk merangkai kesan yang diperoleh dari hasil pengamatan melalui indra yaitu penglihatan, pendengaran, perasaan indrawi, perabaan, dan penciuman. Berpikir ilmiah berarti membangkitkan ingatan atau kesadaran untuk mengingat sesuatu berdasarkan kesadaran ilmu.
Tinjauan etimologi akan menjawab secara lugas bahwa istilah ilmu berasal dari Alquran. Tentang pengertian ilmu secara ilmiah, pengusutannya dimulai dari data empirik di mana kata tersebut ditemukannya. Setelah itu diamati dalam arti, dicermati pengertiannya, baik dari tinjauan morfologi maupun tinjauan sintaksis. Secara morfologi kata ilmu adalah masdar (dasar kata). Kata-kata di dalam Alquran yang berkonotasi sebagai bentukan dari kata tersebut adalah alima-ya’lamu (fi’il mudharri’), atau menjadi allama- yu’allimu (fa’il mazid), aalimun (isim fa’il), ’alim (sifat musyabbahah), allaam (mubalaghah), dan lain-lain. Di dalam Alquran terdapat lebih kurang 770 ayat yang secara redaksional mengungkapkan kata-kata ilmu dan yang berkonotasi dengan itu. Untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini, hanya diangkat beberapa ayat saja. Salah satunya sebagai berikut.
QS. Ar-Rahmaan (55): 1-2.
اَلرَّحْمٰنُۙ
عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ
Artinya: Ar-Rahmaan (Allah), Dialah yang mengilmukan (mengajarkan) Alquran.
Ayat tersebut secara lugas diartikan bahwa Alquran adalah ilmu. Jika Alquran diyakini sebagai wahyu, maka ilmu adalah wahyu. Wahyu adalah sederetan informasi dari Allah kepada manusia melalui Rasul-Nya, tentang apa, dan bagaimana seharusnya manusia itu. Selanjutnya Allah berfirman: QS. Ar-Rahmaan (55): 3-15.
خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ
وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ
اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ
وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
وَالْاَرْضَ وَضَعَهَا لِلْاَنَامِۙ
فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّالنَّخْلُ ذَاتُ الْاَكْمَامِۖ
وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُۚ
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ
وَخَلَقَ الْجَاۤنَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍۚ
Artinya: Telah menciptakan manusia (3), telah mengajarnya pandai berbicara (4). Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (5) dan tumbuh-tumbuhan serta pohon-pohonan, keduanya tunduk kepada- Nya (6). Langit ditinggikan-Nya dan neraca (keadilan) diletakkan- Nya (7) supaya kamu jangan melampaui batas pada neraca itu (8). Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (9). Dan bumi diletakkan-Nya bagi makhluk (10), padanya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak (mayang) (11). Dan biji-bijian yang berkulit dan harum (12). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (13) Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (14). Dan Dia menciptakan jin-jin dari nyala api (15).
Berpikir ilmiah dinyatakan dalam beberapa ayat antara lain hidup manusia bukan hanya menatap masa kini, melainkan masa depan. Berpikir yang hanya terfokus pada masa kini tanpa mempertimbangkan masa depan merupakan ciri khas orang-orang kafir. Salah satu di antara pertimbangan yang diajukan dalam Alquran tentang waktu sekaligus tempat, bahwa karakteristik ayat-ayat Alquran penekanannya dibedakan antara periode Makkiyah (ayat-ayat Alquran yang diturunkan ketika nabi di Makkah) maupun Madaniyah (ayat-ayat Alquran yang diturunkan ketika nabi di Madinah). Pertimbangan lain berkaitan dengan kemampuan yang dinyatakan dalam surat Al-Baqarah (2):286, bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan tingkat kemampuannya. Tentang prinsip manfaat dikemukakan dalam banyak ayat antara lain. QS. Al-Israa’ (17): 26-27.
وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا
Artinya: Dan berilah kepada kerabat-kerabat akan haknya, (juga kepada) orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah engkau boros (26). Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan, dan adalah setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (27).
Berpikir integratif artinya mencermati sesuatu permasalahan secara utuh dan menyeluruh. Landasan berpikir integratif yaitu keterkaitan antara sebab dan akibat. Maksudnya, sesuatu sebab akan menimbulkan berbagai akibat, dan setiap akibat pada gilirannya akan menjadi penyebab. Manfaat berpikir integratif adalah menumbuhkembangkan kecermatan dalam menanggapi setiap permasalahan, dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Sikap yang demikian itulah yang disebut dengan fathanah (cerdas).
Berpikir integratif ilmiah pokok-pokoknya antara lain sebagai berikut.
- Mempertimbangkan berbagai kemungkinan baik dari segi tekstual maupun kontekstual tentang data, baik secara harfiah maupun maknawiyah, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
- Mencermati keutuhan dan kelengkapan data, baik data primer maupun data sekunder.
- Mempertimbangkan konsekuensi terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi akibat dari sikap atau perbuatan yang dilakukan sebagai bahan perbandingan dalam menganalogi kesimpulan yaitu kesan yang dihasilkan.
Landasan berpikir integratif ilmiah, antara lain seperti dikemukakan pada surat Al-Qiyaamah (75): 16-25, bahwa dalam mencermati informasi guna memperoleh kesan tentang Alquran harus dipahami bahwa Alquran adalah satu komponen integral ilmiah yang utuh dan terpadu. Satu sama lain saling melengkapi dan menjelaskan. Sebab itu keutuhan menjadi bahan pertimbangan dalam menyimpulkan makna tentang Alquran (Perhatikan pula sabda Rasul yang menegaskan bahwa ayat Alquran satu sama lain saling jelas-menjelaskan). Lebih jelas tentang uraian berpikir integratif dikemukakan pada pokok bahasan pendekatan integratif tekstual dan kontekstual dalam tafsir Alquran.
Berpikir objektif berarti mengingat atau mencermati kesan tentang sesuatu sebagaimana adanya, dalam arti tidak mengada-ada. Jika yang diamati suatu benda, maka kesan yang disimpulkan adalah sesuai dengan yang diperoleh dari benda yang diamatinya itu. Jika yang dijadikan objek dalam berpikir adalah ucapan seseorang, maka kesan yang objektif adalah yang sesuai dengan ucapan orang yang dimaksud. Dengan demikian, penekanan objektif pada berpikir, fokusnya adalah kesahihan atau validitas data, bukan pada kesan atau tafsiran data sebagai hasil berpikir. Alur berpikir objektif dikatakan ilmiah apabila rujukan data benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Berpikir objektif dengan bidang keilmuan (Alquran), mempunyai data yang objektif yang bersumber dari Alquran dan atau Sunnah Rasul. Rujukan yang menjadi mazhab atau tempat pengambilan tentang Alquran adalah Mus- haf, paling tidak objektivitas data mampu menjawab pada surat apa dan ayat berapa data tersebut ditemukan dan bagaimana konkret atau kelengkapan datanya. Jika Sunnah Rasul, maka harus mampu menjawab apa haditsnya, dari mana hadits itu diambil, sahih atau tidak.
Berpikir objektif berarti berpikir sebagaimana adanya tanpa menambah atau mengurangi. Karakteristik berpikir objektif ilmiah seperti ini adalah yang dicerminkan oleh Rasulullah sebagai seorang yang siddiiq (jujur). Ia sebagai penyampai wahyu yang tidak memerankan subjektifnya. Sebaliknya, para oposan, mereka menjadikan subjektifnya sebagai penentu. Hal yang diperlukan dan menguntungkan buat mereka diungkapkannya panjang lebar, sebaliknya yang tidak menguntungkan (walau salah) disembunyikan atau dibuangnya. Untuk itu, berpikir objektif memerlukan kecermatan integratif.
Berpikir logis adalah berpikir dengan menggunakan akal atau pikiran. Berpikir ilmiah pada dasarnya pengambilan kesan didukung dengan kaidah- kaidah berpikir umum, dan hasilnya dapat diterima dengan akal. Apabila kesan yang diperoleh dari informasi tidak dapat diterima oleh kaidah berpikir rasional, maka struktur saraf manusia tidak akan menerimanya. Karena itu, jika ada kesan tentang informasi dari telaah ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan kaidah berpikir umum, kemungkinan artinya harus dipahami sebagai bahasa kiasan. Contohnya kandungan kalimat “lihatlah sekuntum melati dan kumbang sedang bermesraan, keduanya saling memadu janji untuk hidup bersama”. Jika kata melati dipahami sebagai bunga dan kumbang sebagai hewan, maka kaidah berpikir umum sulit untuk menerimanya, karena antara kumbang dan melati tidak mungkin memadu janji. Atas dasar itu, yang dimaksud dengan melati dan kumbang adalah seorang gadis dan seorang pemuda (bahasa kiasan).
Dalam kaitannya dengan karakteristik berpikir ilmiah, rasional akan berbenturan dengan doktrin teologis tradisional jabariyah (fatalisme), yaitu paham yang berkeyakinan bahwa apa pun serba mungkin, jika Tuhan menghendaki. Kumbang (hewan) atau melati (bunga) mungkin saja bisa berbicara kalau Tuhan menghendakinya. Doktrin semacam ini, jelas menolak karakteristik berpikir rasional. Dalam tinjauan Islam, jika konsekuen dengan Alquran semestinya keyakinan tersebut tidak akan muncul dan jika ada harus segera dikubur, karena bertentangan dengan prinsip berpikir sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu. Ingat kembali, bahwa menggunakan akal merupakan tuntutan dari Allah.
Dari beberapa ciri berpikir ilmiah tersebut, ada hal pokok yang perlu dicermati oleh setiap pemikir, yaitu mengapa manusia berpikir apa dan untuk apa; serta bagaimana; dari mana dan kapan berpikir harus dilakukan. Kesemuanya dalam rangka memenuhi jawaban, yaitu “memenuhi perintah Allah”, guna mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk yang termulia. Bukankah kodrat penciptaan manusia menurut asalnya sebagai makhluk yang terhormat? Bukankah dari posisinya itu boleh jadi berbalik menjadi makhluk yang terhina. Perhatikan firman Allah berikut ini. QS At- Tiin (95): 4-6;
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya bentuk (4). Kemudian Kami mengem- balikannya kepada yang serendah-rendahnya (5), kecuali orang- orang yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (6).
MENGAMALKAN ILMU
Manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan hukumnya wajib. Jika tidak menuntut ilmu berdosa. Selain hukum tersebut menuntut ilmu bermanfaat untuk mencapai kecerdasan atau disebut ulama (orang yang memiliki ilmu). Namun di balik itu, orang yang memiliki ilmu (ilmuwan) akan berdosa jika ilmunya tidak diamalkan. Dalam Al-quran terdapat 620 kata amal.
Dalam kaitannya dengan orang yang beriman harus didasarkan pada pengetahuan (al-ilm) dan direalisasikan dalam karya nyata yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia dan akhirat, tentunya amal yang dibenarkan oleh ajaran agama (amal saleh). Dengan demikian amal saleh merupakan aspek penting jika dilihat dari segi praktis. Dalam Al-quran kalimat amal saleh (al- amal shalihat) sering dikaitkan dengan iman, misalnya QS A-Ashr (103: 3);
وَالْعَصْرِۙ
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
Artinya: 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Sasaran ayat di atas bukan manusia secara keseluruhan, sebab pemakaian kata yang digunakan adalah al-insan, menggunakan huruf ta’rif (al) sebenarnya dapat mencakup satu per satu manusia, namun dalam hal ini menjelaskan bahwa yang dituju ayat tersebut adalah hanya manusia yang berakal dan baligh (dewasa), bukan anak-anak dan yang tidak berakal. Sedangkan kata amanu adalah orang-orang yang membenarkan (tashdiq) bahwa dalam diri manusia terdapat potensi baik dan buruk (wa shoddaqo bil- husna), beri’tikad (wa i’tiqadu) dengan keyakinan yang benar dan mampu membedakan antara yang utama dan yang hina, serta teguh dengan pendirian dan keimanannya dengan realisasi perbuatan nyata (amal shaleh).
Adapun yang disebut amal saleh, adalah perbuatan yang dipandang baik menurut penjelasan wahyu dan perbuatan yang mengandung manfaat bagi individu maupun kelompok serta jauh dari akibat yang menyengsarakan sesuai dengan pertimbangan akal. Amal saleh yang didasarkan pada iman dan ilmu harus sesuai dengan akal (dalil’aqliy) yang dikaitkan dengan alam empirik, sehingga kemanfaatan perbuatan tersebut dapat diketahui secara meyakinkan. Di samping amal saleh itu diukur dengan akal, harus sesuai dengan ketentuan naqliy (Alquran dan Hadits).
Uraian di atas dapat dipahami, bahwa dalil yang dianggap pasti (dalil qath’i) adalah dalil akal yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dari obyek empirik. Di samping akal juga harus didasarkan pada naqliy (wahyu), sesuai pemahaman akal. Pemanfaatan dua dalil tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kebenaran iman yang diwujudkan dengan amal saleh.
Orang yang beriman dan diwujudkan dengan amal saleh adalah merupakan manifestasi dari makhluk yang terbaik, sebagaimana tersebut pada QS. 98: 7;
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِۗ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
Orang-orang yang beriman (alladzina amanu) adalah orang-orang yang menerima pancaran sinar petunjuk, meyakini dengan teguh terhadap apa yang dikatakan (Muhammad) dan membenarkan terhadap orang yang membawanya, yakni Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan kalimat mereka beramal saleh (wa’amilual-Shalihat) merupakan realisasi keyakinan yang benar dan dihasilkan dari kebenaran pengetahuan yang merasuk dalam pribadi, sehingga dapat dipegang teguh. Adapun jenis amal saleh dapat berupa penyerahan diri untuk memperjuangkan kebenaran, memanfaatkan harta dalam memenuhi keperluan yang baik, menunaikan ibadah yang telah ditentukan, ikhlas dalam berbagai macam tingkah laku yang baik dan sejenisnya.
Akhirnya ayat di atas disebutkan ulaika hum khair al al-bariyyat bahwa orang-orang mukmin yang saleh dan berbuat kebajikan itu adalah paling utama ciptaan Allah, karena mereka mau mengikuti kebenaran yang ditemukan dengan wujud amal saleh. Dengan perbuatan yang baik tersebut, berarti ia mempertahankan kemuliaan martabat yang telah diberikan oleh Allah semenjak awal di ciptakan-Nya, yakni hidup sebagai teladan yang dapat menunjukkan manusia kepada kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Berpijak dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud orang beriman pada ayat di atas adalah mereka yang mau mempergunakan akalnya untuk memahami wahyu sebagai petunjuk, mempercayai Muhammad sebagai pembawa wahyu yang benar, di dasarkan pada pengetahuan yang benar (ma’rifat al-haqq) akan menumbuhkan tingkat kepercayaan yang mendalam, sehingga dapat mendorong beramal saleh bagi kesejahteraan yang hakiki.
Orang yang beramal saleh sebagai wujud ketakwaan akan dapat mencapai kebahagiaan, sebagaimana firman Allah pada Q.S.92: 5-7;
فَاَمَّا مَنْ اَعْطٰى وَاتَّقٰىۙ
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنٰىۙ
فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلْيُسْرٰىۗ
Artinya: Adapun orang-orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kelak kami yang menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Kata wa al-taqa, maksudnya ialah orang yang takut melakukan perbuatan buruk yang dapat berakibat membahayakan manusia dan mengekang diri dari perbuatan buruk, baik lahir maupun batin, serta menjaga dirinya melakukan perbuatan dosa. Sedangkan kalimat wa shaddaqa bi al- husna berarti suatu keyakinan yang baik, yakni, meyakini kebenaran atas keutamaan amal saleh, dapat membedakan keutamaan dan kehinaan perbuatan terpuji dan keji, dan meyakini bahwa potensi baik dan buruk itu dimiliki manusia, serta mengakui bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan membenci terhadap keburukan. Sesuai firman Allah Q.S. 91: 8, yakni Allah memberi potensi akal kepada manusia untuk dapat membedakan antara yang baik dan meninggalkan yang buruk, Perbuatan buruk termasuk (al-fujur), sedangkan perbuatan baik termasuk (taqwa), sesuai pula dengan Q.S. 90: 10.
Kesimpulannya, bahwa orang yang beramal saleh akan mendapatkan kesuksesan hidup lahir dan batin, selalu dekat kepada Allah dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun semua makhluk yang ada di muka bumi. Orang yang bertakwa dalam beberapa tingkatan, sebagaimana dalam Q.S.92: 17. Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu.
Dalam ayat memberikan penjelasan yang cukup panjang, antara lain disebutkan, bahwa manusia itu dibagi dalam beberapa bagian.
- Kelompok orang-orang yang baik (al-abrar), yaitu orang yang diberikan kenikmatan akal oleh Allah, serta memiliki kebeningan keyakinan, sehingga kekuatan tersebut dapat menjauhkan mereka dari perbuatan buruk, baik secara lahir maupun batin, selalu berbuat dalam kebaikan yang besar maupun yang kecil, tidak berbuat kesalahan yang dapat mengurangi amal baiknya. Orang tersebut digolongkan ke dalam peringkat pertama.
- Kelompok yang berada pada tingkat kedua, yakni orang yang terkadang mengikuti keinginan nafsunya, kemudian mereka terperosok dalam perbuatan dosa, lupa melaksanakan kewajiban, namun kemudian kesadarannya tumbuh, akhirnya mereka bertaubat dan menyesali perbuatan dosa yang dilakukan. Kelompok pertama dan kedua digolongkan orang-orang yang bertakwa (al-muttaqin).
- Kelompok ketiga, adalah golongan orang-orang yang bercampur antara melaksanakan kebaikan, juga melaksanakan perbuatan buruk sekaligus , misalnya: mereka percaya kepada Allah, namun mereka tetap melakukan perbuatan buruk dan tidak bertaubat (al-fasiqin). Perbuatan seperti itu, menunjukkan bahwa ia tidak membenarkan dengan sesungguhnya kepada apa yang telah dipercayainya, berupa ketentuan-ketentuan Allah yang dapat diketahui dengan akal, mengetahui akibat kelakuan yang diperbuatnya serta dapat menentukan kebenaran dan kepercayaan yang sempurna, kemudian ia tidak menggunakan potensi keimanan yang dimiliki tanpa meminta ampun, maka mereka itu digolongkan sebagai orang fasik, sebagaimana hadits nabi:
- Penzina itu tidak akan berbuat zina, selama ia beriman, dan pencuri itu tidak akan mencuri selagi ia beriman.
- Kelompok keempat adalah golongan orang-orang kafir, yaitu orang yang paling celaka dan akan dimasukkan ke dalam neraka (Q.S. 92: 14-15) yang kekal. Sama halnya dengan kelompok ketiga juga akan dimasukkan ke dalam neraka,hanya saja tidak kekal.
Kelompok manusia yang termasuk kategori yang paling bertakwa (al- atqa) adalah kelompok pertama dan kedua, sedangkan kelompok ketiga dan keempat adalah termasuk golongan orang yang paling celaka (al-asyqa).
Keterkaitan antara ketakwaan dan ilmu pengetahuan ini, Imam Ghazali menjelaskan bahwa setiap ilmu itu digunakan untuk memotivasi perbuatan, maka tidak akan terjadi suatu perbuatan tanpa dorongannya. Ilmu yang dapat mengarahkan kepada perbuatan dosa dengan wujud meninggalkan ketentuan- ketentuan Allah, hal itu menunjukkan bahwa pemilik ilmu pengetahuan tersebut adalah golongan orang yang imannya kurang sempurna.
Kesimpulannya, bahwa orang yang berilmu dan dapat merealisasikan dengan bentuk amal saleh, maka mereka termasuk orang yang bertakwa, sedangkan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk berbuat dosa, maka orang tersebut digolongkan orang yang fasik. Hal itu menunjukkan ada keterkaitan antara ilmu pengetahuan, ilmu dan amal saleh.
Referensi:
Nurdin,Ali.dkk. 2016. Pendidikan Agama Islam.Tanggerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka. Hal 6.24
Islam dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Ilmu Pengetahuan
I am a website designer. Recently, I am designing a website template about gate.io. The boss’s requirements are very strange, which makes me very difficult. I have consulted many websites, and later I discovered your blog, which is the style I hope to need. thank you very much. Would you allow me to use your blog style as a reference? thank you!
Thank you ever so for you blog. Cool.