Nasionalisme Dalam Ajaran Islam
Nasionalisme Dalam Ajaran Islam
Daftar Isi
Nasionalisme dalam ajaran Islam benar-benar dilaksanakan dengan baik oleh para pahlawan pendiri bangsa. Dalam buku-buku sejarah Nasional Indonesia diceritakan bahwa pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, ketika para tokoh pejuang kita berkumpul untuk merumuskan dasar negara Indonesia, banyak yang mengusulkan agar dasar negara adalah Islam. Hal ini adalah wajar karena memang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kemudian hal ini mendapat tanggapan yang bernada keberatan khususnya dari Indonesia bagian timur yang memang mayoritas warganya beragama nonislam.
Sehingga demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan negara Indonesia yang baru berdiri tersebut dalam bingkai wadah NKRI para tokoh agama Islam (tentu tidak semua tokoh agama Islam) menyetujui tidak dijadikannya Islam sebagai dasar bernegara. Yang kemudian mereka menyepakati Pancasila.
Contoh di atas adalah gambaran konkret bagaimana kontribusi para tokoh agama Islam dalam memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Kalau di atas adalah contoh kontribusi tokoh agama atau pemeluk agama, maka bagaimana kontribusi ajaran agama Islam dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Ini adalah prinsip- prinsip yang diajarkan oleh Islam lebih khusus adalah Al-quran untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Beberapa prinsip yang diajarkan oleh Al-quran untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa antara lain prinsip:
- persatuan dan persaudaraan,
- persamaan,
- kebebasan,
- tolong-menolong,
- perdamaian,
- musyawarah.
Masing-masing prinsip tersebut akan dibahas satu persatuan untuk dapat dipahami sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau Anda tertarik ingin memahami lebih jauh tentang masalah tersebut salah satu buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca adalah “Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al-quran”, karya J. Suyuthi Pulungan, tentu juga beberapa buku lain yang berkaitan.
Prinsip Persatuan dan Persaudaraan
Dalam ajaran Islam baik Al-quran maupun hadis kita temukan banyak petunjuk yang mendorong agar umat Islam memelihara persaudaraan dan persatuan di antara sesama warga masyarakat. Di antaranya adalah ayat yang menjelaskan bahwa pada mulanya manusia itu adalah satu umat ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 213.
كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِاِذْنِهٖ ۗ وَاللّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
Artinya: Manusia sejak dahulu adalah umat yang satu, Selanjutnya Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab itu, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena keinginan yang tidak wajar (dengki) antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Baca Juga: Kerukunan Antar Umat Beragama
Baiklah mari sejenak kita membayangkan pada awal-awal manusia diciptakan. Anda harus bersungguh-sungguh untuk membayangkannya. Dalam ayat ini secara tegas dikatakan bahwa manusia pada mulanya adalah satu kesatuan, atau dalam istilah ayat di atas disebut dengan istilah satu umat. Allah SWT menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling berkaitan dan saling membutuhkan. Mereka sejak dahulu hingga kini baru dapat hidup jika bantu membantu sebagai satu umat, yakni kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan. Karena kodrat mereka demikian, tentu saja mereka harus berbeda-beda dalam profesi dan kecenderungan. Ini karena kepentingan mereka banyak, sehingga dengan perbedaan tersebut masing- masing dapat memenuhi kebutuhannya.
Dalam kenyataannya manusia tidak mengetahui sepenuhnya bagaimana cara memperoleh kemaslahatan mereka, juga tidak tahu bagaimana mengatur hubungan antar mereka, atau menyelesaikan perselisihan mereka. Di sisi lain, manusia memiliki sifat, egoisme yang dapat muncul sewaktu-waktu, sehingga dapat menimbulkan perselisihan. Karena itu Allah SWT mengutus para nabi menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah dan menyampaikan petunjuk-Nya sambil menugaskan para nabi itu menjadi pemberi kabar gembira bagi yang mengikuti petunjuk. Hal ini diperkuat dengan Q.S. Yunus/10: 19.
وَمَا كَانَ النَّاسُ اِلَّآ اُمَّةً وَّاحِدَةً فَاخْتَلَفُوْاۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيْمَا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ
Artinya: Manusia dahulunya adalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah mereka telah diputuskan tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
Dalam Al-quran dan terjemahan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama diberikan catatan: Manusia pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai suatu keluarga. Tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka berlainan, timbullah berbagai kepercayaan yang menimbulkan perpecahan. Oleh karena itu Allah mengutus rasul yang membawa wahyu dan untuk memberi petunjuk kepada mereka.
Apakah ini berarti manusia harus menjadi seragam? Ternyata tidak, hal ini dapat kita lihat dalam ayat-ayat selanjutnya yang terkesan bahwa Allah memang tidak menghendaki adanya persatuan mutlak di antara manusia, sebab ada maksud tertentu di batik perbedaan itu, seperti dijelaskan dalam Q.S. Al-Maai’dah/ 5:48.
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ
Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah- lah kembali kalian semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu.
Baca Juga: Agama Dalam Pandangan Islam
Adanya faktor pembeda di antara individu dan kelompok dalam masyarakat memberi peluang. Tetapi peluang itu harus diarahkan pada kompetisi ke arah kebajikan.
Hal ini dengan jelas ditegaskan dalam surat Al-Hujuraat/49: 13.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat di atas Anda perhatikan bahwa Al-quran mengakui adanya faktor pembeda itu. Ayat ini memberi legitimasi terhadap adanya faktor pembeda itu sebagai sesuatu yang alami yang memang diciptakan oleh Tuhan. Tetapi ajaran agama menyatakan agar hal itu diperlakukan untuk saling mengenal (ta’aruf). Selain alami keberagaman itu juga mengandung manfaat. Namun, manusia harus ingat bahwa mereka tergolong dalam umat manusia yang satu. Agama salah satunya berfungsi untuk mengingatkan persamaan di antara manusia itu sebagai landasan untuk persahabatan, tolong-menolong dan persaudaraan. Perbedaan itu tidak akan menjadi persoalan apabila kesemuanya itu mengacu pada nilai-nilai kebajikan. Oleh karena itu, dalam suatu masyarakat perlu ada suatu kelompok yang melembaga yang berorientasi pada nilai-nilai keutamaan. Kelembagaan itu bisa merupakan organisasi yang mewakili kepentingan bersama. Tetapi setiap individu bisa membantu terciptanya kepentingan umum itu, yaitu apabila mereka bertakwa. Orang yang bertakwa adalah orang yang selalu cenderung mendekat pada yang ma’ruf dan menjauh dari yang mungkar atas dasar kesadaran dan bukannya paksaan dari luar.
Dengan demikian, kedatangan Islam dengan Al-quran sebagai kitab sucinya, selain mengembalikan bangsa yang terpecah kepada kepercayaan yang murni atau hanif dalam arti sesuai dengan fitrah kejadian manusia yang paling primordial juga mengandung misi mempersatukan individu-individu dalam satuan masyarakat yang lebih besar yang disebut dengan ummah wahidah, yaitu suatu umat yang bersatu berdasarkan iman kepada Allah dan mengacu kepada nilai-nilai kebajikan. Namun umat tersebut tidak terbatas kepada bangsa di mana mereka merupakan bagian. Arti umat mencakup pula seluruh umat manusia. Dalam hal ini, seluruh bangsa adalah bagian dari umat yang satu. Dengan demikian, maka kesatuan masyarakat didasarkan pada doktrin kesatuan umat manusia.
Baca Juga: HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA
Karena pada dasarnya manusia adalah umat yang satu maka perpecahan, permusuhan dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya adalah sebuah pengingkaran terhadap tujuan penciptaan manusia. Manusia adalah sama, dalam arti sama-sama makhluk Tuhan, dan inilah yang kita babas dalam poin kedua sebagai kontribusi ajaran islam demi terwujudnya persatuan, yaitu prinsip persamaan.
Prinsip Persamaan
Persamaan seluruh umat manusia ini ditegaskan oleh Allah dalam surat An-Nisaa’4: 1.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki- laki yang banyak dan perempuan. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah pula) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha mengawasi kamu.
Anda perhatikan bahwa ayat di atas didahului dengan panggilan (wahai seluruh manusia), padahal ayat-ayat tersebut turun setelah Nabi SAW. Hijrah ke Madinah (Madaniyah), yang biasanya salah satu cirinya adalah didahului dengan panggilan يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا (ditujukan kepada orang-orang yang beriman), namun demi persaudaraan persatuan dan kesatuan, ayat ini mengajak kepada semua manusia yang beriman dan yang tidak beriman يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ (wahai seluruh manusia) untuk saling membantu dan saling menyayangi, karena manusia berasal dari satu keturunan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk mewujudkan persatuan dan rasa aman dalam masyarakat, serta saling menghormati hak-hak asasi manusia.
Yang juga menarik untuk Anda cermati adalah ayat tersebut memerintahkan bertakwa kepada rabbakum tidak menggunakan kata Allah, untuk lebih mendorong semua manusia berbuat baik, karena Tuhan yang memerintahkan ini adalah rab, yakni yang memelihara dan membimbing, serta agar setiap manusia menghindari sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Tuhan yang mereka percayai sebagai pemelihara dan yang selalu menginginkan kedamaian dan kesejahteraan bagi semua makhluk. Di sisi lain, pemilihan kata itu membuktikan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan yang tidak boleh putus. Hubungan antara manusia dengan-Nya itu, sekaligus menuntut agar setiap orang senantiasa memelihara hubungan antara manusia dengan sesamanya. Dalam kaitan inilah salah seorang utama besar berkebangsaan Mesir Sayyid Quthb menyatakan bahwa sesungguhnya berbagai fitrah yang sederhana ini merupakan hakikat yang sangat besar, sangat mendalam dan sangat berat. Sekiranya manusia mengarahkan pendengaran dan hati mereka kepadanya niscaya telah cukup untuk mengadakan berbagai perubahan besar di dalam kehidupan mereka dan mentransformasikan mereka dari beraneka ragam kebodohan kepada iman, keterpimpinan dan petunjuk, kepada peradaban yang sejati dan layak bagi manusia.
Nabi SAW. Juga menegaskan hal ini dalam beberapa hadisnya, di antaranya adalah.
وعن أبي نضرة قال: «حدثني من سمع خطبة النبي صلى الله عليه وسلم في وسط أيام التشريق فقال: ” يا أيها الناس، إن ربكم واحد وأباكم واحد، ألا لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا أسود على أحمر، ولا أحمر على أسود إلا بالتقوى، أبلغت؟ “. قالوا: بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya: “Abu Nadhrah meriwayatkan dari seseorang yang mendengar khotbah Nabi SAW pada hari tasyriq, di mana Nabi SAW bersabda: “Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena taqwanya apakah aku telah menyampaikan? Mereka menjawab: “Rasulullah SAW telah menyampaikan (H.R Ahmad).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Artinya: “…Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk rupa kamu dan harta benda kamu, akan tetapi Dia hanya memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu. (HR. Muslim).
Al-Quar’an begitu peduli terhadap prinsip persamaan manusia ini, sehingga karena pada dasarnya manusia banyak memiliki titik persamaan maka hidup dengan keadaan selalu bersatu padu menjadi lebih baik dan lebih mudah. Coba mari kita lihat ayat-ayat di bawah ini tentu Anda akan menjadi yakin betapa seriusnya Al-quran dengan masalah ini. Surat Al-A’raaf/7: 189.
۞ هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ فَلَمَّا تَغَشّٰىهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهٖ ۚفَلَمَّآ اَثْقَلَتْ دَّعَوَا اللّٰهَ رَبَّهُمَا لَىِٕنْ اٰتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ
Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu) kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami termasuk orang- orang yang bersyukur”.
Surat Az-Zumar/39: 6.
خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَاَنْزَلَ لَكُمْ مِّنَ الْاَنْعَامِ ثَمٰنِيَةَ اَزْوَاجٍ ۗ يَخْلُقُكُمْ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ خَلْقًا مِّنْۢ بَعْدِ خَلْقٍ فِيْ ظُلُمٰتٍ ثَلٰثٍۗ ذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ فَاَنّٰى تُصْرَفُوْنَ
Artinya: Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dan binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
Beberapa ayat lain yang menegaskan hal ini antara lain dalam surat Fathir/35: 11; Al-Mu’min/40: 67; Al-Mu’minun/23: 12-14 yang menerangkan asal-usul kejadian manusia, yaitu dan tanah kemudian dari setetes air mani dan proses-proses selanjutnya. Proses tersebut antara satu manusia dengan lainnya adalah sama.
Ayat-ayat dan juga beberapa hadis di atas menjelaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, manusia tidak ada perbedaan. Mereka semuanya sama, dari asal kejadian yang sama yaitu tanah, dari diri yang satu yakni Adam yang diciptakan dari tanah dan dari padanya diciptakan istrinya. Oleh karenanya, tidak ada kelebihan seorang individu dari individu yang lain, satu golongan atas golongan yang lain, suatu ras atas ras yang lain, warna kulit atas warna kulit yang lain, seorang mana atas pembantunya, dan pemerintah atas rakyatnya. Atas dasar asal-usul kejadian manusia seluruhnya adalah sama, maka tidak layak seseorang atau satu golongan membanggakan diri terhadap yang lain atau menghinanya.
Prinsip persamaan ini harus Anda pahami sebagai bagian dari upaya agar manusia dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik. Namun demikian bukan berarti harus seragam dengan membiarkan dirinya kehilangan kepribadiannya, sama sekali tidak. Manusia sebagai individu tetap memiliki kebebasan dalam batas-batas tertentu untuk menjalankan kehidupannya. Dan inilah yang akan kita bahas pada poin ketiga yaitu prinsip kebebasan.
Prinsip Kebebasan
Sekarang kita beralih kepada poin ketiga yang merupakan salah satu pendorong agar sesama warga masyarakat dan anak bangsa dapat bersatu. Persatuan dan persamaan yang diajarkan di atas jangan Anda membayangkan bahwa itu berati setiap orang boleh dipaksa agar menjadi sama atau seragam. Sama sekali tidak. Manusia harus tetap diberikan kebebasan untuk dapat menjalani hidupnya sesuai dengan kebebasan yang dimiliki tentu dengan batas-batas tertentu. Kebebasan adalah salah satu hak paling asasi yang dimiliki oleh manusia. Yang perlu digaris bawahi adalah bentuk ekspresi kebebasan tentu tidak boleh melanggar kebebasan yang juga dimiliki oleh orang lain.
Ada beberapa jenis kebebasan yang diajarkan oleh Islam:
Kebebasan untuk memeluk agama;
Yang dimaksud dalam poin ini adalah bahwa Allah SWT memberi kebebasan kepada setiap manusia untuk memeluk agama yang diyakininya masing-masing. Seseorang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama tertentu, karena itu berarti dapat mencederai kebebasan yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. Namun demikian bukan berarti semua agama itu benar, tidak!
Kebebasan memeluk agama adalah bagian dari kebebasan yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia di dunia ini. Pilihan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak; apakah pilihannya sesuai dengan petunjuk Allah atau sebaliknya.
Al-quran secara tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam; Q.S. Al-Baqarah/2: 256.
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada gantungan tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam ayat di atas secara gamblang dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama; Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut aqidah agama Islam. Konsiderans yang dijelaskan ayat tersebut adalah karena telah jelas jalan yang lurus.
Sebab turun ayat tersebut sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir yang bersumber dari sahabat Ibn ‘Abbas adalah seorang laki-laki Anshar dari Bani Salim bin ‘Auf yang dikenal dengan nama Husain mempunyai dua anak laki-laki yang beragama Nasrani. Sedangkan ia sendiri beragama Islam. Husain menyatakan kepada nabi SAW. “apakah saya harus memaksa keduanya? (Untuk masuk Islam?), kemudian turunlah ayat tersebut di atas.
Ayat yang senada terdapat dalam surat Yunus/l0: 99-100.
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ
Artinya: “Jikalau Tuhanmu mengehendaki, tentulah beriman semua yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau, engkau memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin semuanya, padahal tidak ada satu jiwa pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kekotoran kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
Ayat di atas secara tegas mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan beriman atau tidak beriman. Kebebasan tersebut bukanlah bersumber dari kekuatan manusia melainkan anugerah Allah, karena jikalau Allah Tuhan Pemelihara dan Pembimbingmu (dalam ayat di atas diisyaratkan dengan kata rabb), menghendaki tentulah beriman semua manusia yang berada di muka bumi seluruhnya. Ini dapat dilakukan-Nya antara lain dengan mencabut kemampuan manusia memilih dan menghiasi jiwa mereka hanya dengan potensi positif saja, tanpa nafsu dan dorongan negatif seperti halnya malaikat. Tetapi hal itu tidak dilakukan-Nya, karena tujuan mama manusia diciptakan dengan diberi kebebasan adalah untuk menguji. Allah SWT. menganugerahkan manusia potensi akal agar mereka menggunakannya untuk memilih.
Dengan atasan seperti di atas dapat disimpulkan bahwa segala bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak dibenarkan oleh Al-quran. Karena yang dikehendaki oleh Allah adalah iman yang tulus tanpa pamrih dan paksaan. Seandainya paksaan itu diperbolehkan maka Allah sendiri yang akan melakukan, dan seperti dijelaskan dalam ayat di atas Allah SWT tidak melakukannya. Maka tugas para Nabi hanyalah untuk mengajak dan memberikan peringatan tanpa paksaan. Manusia akan dinilai terkait dengan sikap dan respons terhadap seman para nabi tersebut.
Dalam ayat di atas terdapat ungkapan yang awalnya ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Yaitu “apakah engkau, engkau memaksa manusia?
Hal itu dipaparkan oleh Al-quran terkait dengan sikap Nabi Muhammad SAW yang secara sungguh-sungguh ingin mengajak manusia semua beriman, bahkan sikap beliau terkadang berlebihan dalam arti di luar batas kemampuannya, sehingga hampir mencelakakan diri sendiri. Penggalan ayat di atas dari satu sisi menegur Nabi Muhammad SAW dan orang yang bersikap dan melakukan hal serupa, dan dari sisi yang lain memuji kesungguhannya.
Jenis kebebasan yang diberikan oleh Allah SWT adalah kebebasan untuk berpendapat. Hal ini diisyaratkan dalam surat Ar-Rahmaan/55: 1-4.
اَلرَّحْمٰنُۙ
عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ
خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
Artinya: 1. (tuhan) yang Maha pemurah.Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.
Ayat yang mengisyaratkan hal ini adalah pada ayat yang ke-4. Allah telah menganugerahkan kepada manusia kemampuan untuk berbicara. Dengan demikian manusia diberi kebebasan untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya melalui kemampuan yang dimiliki tersebut. Tetapi jangan Anda bayangkan bahwa kebebasan tersebut tanpa batas. Al-quran memberi rambu-rambu bagaimana pembicaraan yang dibenarkan dan tidak melanggar hak orang lain.
Contohnya:
- Al-quran melarang berbicara bohong apalagi mengandung fitnah, ini diisyaratkan dalam surat an-Nur/23: 11-18.
- Dilarang berbicara hanya untuk mengolok-olok dan saling menghina; surat al-Hujurat/49: 11.
- Dilarang berbicara yang isinya prasangka buruk dan membuka aib orang lain al-Hujurat/49: 12.
Kebebasan yang telah disebutkan di atas jangan dipahami bahwa hanya dua kebebasan yang diajarkan oleh Islam. Tetapi keduanya adalah sekedar contoh yang berkaitan dengan kontribusi ajaran Islam untuk mewujudkan persatuan dalam masyarakat.
Untuk mencari keseimbangan antara persamaan di satu sisi dan kebebasan di sisi lain perlu ada jembatan penghubung. Dan tolong- menolong adalah salah satu jembatan penghubung yang diajarkan oleh Islam agar persatuan tetap terjaga. Poin inilah yang akan dibahas di bawah ini.
Prinsip Tolong-menolong
Manusia adalah makhluk sosial, tidak mungkin seseorang dapat bertahan hidup sendirian tanpa bantuan pihak lain. Coba Anda bayangkan bagaimana besarnya sifat ketergantungan manusia kepada pihak lain. Saya akan bantu Anda dengan membuat contoh yaitu; Manusia sejak masih berwujud janin dia tergantung kepada ibunya, bahkan ini dalam arti yang sebenarnya yaitu bergantung di rahim ibunya. Ketika sudah dalam bentuk bayi yang sempurna dan masih tinggal di rahim ibu juga butuh bantuan orang lain. Setelah lahir tidak ada bayi manusia yang langsung mandiri, pasti juga membutuhkan bantuan pihak lain, yaitu orang-orang di sekelilingnya khususnya kedua orang tuanya. Demikian juga ketika menginjak usia anak-anak bahkan setelah dewasa dan berumah tangga sekalipun, manusia tetap membutuhkan bantuan orang lain.
Dari contoh di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tolong- menolong adalah prinsip utama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kita dapat bayangkan seandainya satu komunitas sudah luntur nilai saling menolong maka cepat atau lambat masyarakat tersebut pasti akan hancur. Dari sinilah kita dapat memahami ajaran Al-quran yang menganjurkan untuk saling menolong dalam kebaikan. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Maai’dah/5: 2.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya: Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Ayat tersebut secara jelas memerintahkan kepada manusia untuk bekerja sama dalam hal-hal yang baik demi untuk kebaikan bersama. Dan melarang secara tegas bekerja sama atau tolong menolong dalam perbuatan dosa dan keburukan. Dan di akhir ayat Allah SWT sudah memeringkatkan apabila sesama manusia lebih-lebih yang ada dalam satu ikatan komunitas kebangsaan tidak mau Baling menolong maka yang terjadi adalah kehancuran yang diisyaratkan dalam ayat tersebut sebagai azab yang pedih.
Maka sungguh tepat apa yang dipaparkan oleh Al-quran bahwa manusia tidak akan pernah rugi selama mereka masih mau menegakkan nilai-nilai saling menolong di samping juga beriman dan beramal shalih. Secara jelas ditegaskan dalam surat Al-‘Ashr/103: 1-3.
وَالْعَصْرِۙ
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
Artinya: Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Saya percaya Anda sudah tahu bahkan hafal surat tersebut. Pada bagian akhir surat tersebut jelas sekali menyatakan bahwa manusia tidak akan rugi berarti dia beruntung apabila mau melakukan aktivitas saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran. Sekali lagi tentu di samping beriman dan beramal shalih. Sungguh tepat komentar yang disampaikan oleh Imam Syafi’i (Anda tahu Imam Syafi’i, kan?) tentang surat tersebut: “seandainya Al-quran itu turun hanya satu surat tersebut (al-‘Ashr), itu sudah cukup”. Tentu itu hanya sebuah ungkapan yang menggambarkan petapa pentingnya di samping beriman dan beramal shalih adalah sikap saling menasihati sebagai perwujudan sikap saling menolong. Pada gilirannya hal tersebut tentu akan memperkokoh bangunan kehidupan sosial dalam masyarakat dan bangsa.
Selanjutnya kita akan beralih kepada pembahasan prinsip selanjutnya yaitu prinsip perdamaian.
Prinsip Perdamaian
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apalagi seperti Indonesia yang sangat majemuk, menjadi sangat penting untuk menegakkan prinsip- prinsip perdamaian. Fakta mengajarkan dalam merajut persatuan bukanlah semudah merangkai bunga atau mengumpulkan lidi menjadi satu kesatuan sapu lidi, atau juga seperti binatang ternak yang dengan mudah kita giring ke kandangnya. Manusia tetaplah manusia dengan segala keunikannya. Sesekali pasti akan muncul konflik dan perselisihan yang disebabkan banyak hal maka kalau itu terjadi semua harus sepakat untuk menegakkan nilai-nilai perdamaian. Dalam hal ini Al-quran memberi petunjuk seperti yang dipaparkan dalam surat Al-Hujuraat/49: 9-10.
وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surat, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Meskipun yang disebut dalam ayat tersebut adalah khusus tertuju kepada orang-orang yang beriman (muslim), tetapi spiritnya mencakup setiap orang yang berada dalam konflik. Isyarat ini didapatkan dari penjelasan Al-quran surat Al-Mumtahanah/59: 8.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Cukup jelas petunjuk di atas bahwa persatuan dan kesatuan bangsa akan tercipta mana kala sesama warga bangsa mengedepankan prinsip perdamaian untuk kebaikan bersama. Pertanyaannya adalah bagaimana cara menerapkan prinsip tersebut? Salah satu jawabannya adalah dengan jalan musyawarah. Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan di bawah ini yang merupakan prinsip keenam.
Prinsip Musyawarah
Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab musyawarah yang merupakan bentuk isim masdar dari kata kerja syawara, yusyawiru. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya bermakna dasar mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.
Dalam Al-quran kata syawara dengan segala perubahannya terutang sebanyak empat kali. Tiga yang terakhir terkait dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, untuk itu akan diberikan penjelasan secukupnya.
- Q.S. Al-Baqarah/2: 223.
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran yang pantas. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.
Ayat ini berbicara tentang bagaimana seharusnya hubungan suami istri dalam mengambil suatu keputusan yang berhubungan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Dalam ayat ini Allah SWT memberi petunjuk agar persoalan tersebut juga persoalan-persoalan rumah tangga yang lain dimusyawarahkan antara suami istri.
- Q.S. Ali-Imran/3 :159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Dalam ayat ini disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi SAW untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Ketiga sifat tersebut adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Meskipun ayat tersebut berbicara dalam konteks Perang Uhud di mana umat Islam mengalami kekalahan yang serius, namun esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap kaum muslim yang hendak mengadakan musyawarah, apalagi bagi seorang pemimpin. Kalau dia berlaku kasar dan keras hati niscaya peserta musyawarah akan meninggalkannya.
Sedangkan setelah musyawarah dilaksanakan maka sikap yang harus diambil oleh Nabi SAW. Dan juga orang yang bermusyawarah adalah memberi maaf. Dalam ayat di atas diungkapkan dengan fafu ‘anhum. Dalam Al-quran kata ‘afwu dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 35 kali dengan berbagai makna. Yang cukup menarik adalah bahwa di dalam Al- quran tidak ditemukan perintah untuk meminta maaf yang ada adalah perintah memberi maaf. Ketiadaan perintah meminta bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya, namun yang lebih perlu adalah membimbing manusia agar berakhlak mulia sehingga tidak menunggu orang meminta maaf baru dimaafkan.
Orang yang sedang bermusyawarah harus mempersiapkan mentalnya untuk selalu bersedia memberi maaf, karena boleh jadi ketika melakukan musyawarah terjadi perbedaan pendapat, bahkan mungkin ada kalimat yang menyinggung pihak lain. Etika bermusyawarah yang dituntunkan oleh Al- quran ternyata tidak hanya sampai di sini, ayat tersebut memberi tuntunan bahwa untuk mencapai hasil maksimal tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan manusia (peserta musyawarah), namun juga harus menjalin hubungan yang baik dengan Allah SWT. Inilah yang ditegaskan dalam frase wastagfrlahum, “mohonkanlah ampun bagi mereka”.
Petunjuk terakhir dari ayat tersebut dalam konteks musyawarah adalah . “Apabila telah ber’azam (bertekad bulat) (laksanakanlah) dan bertawakkalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berserah diri kepada-Nya.” ‘Azm adalah tingkat tertinggi apa yang tersirat di dalam hati.
Ayat tersebut mengisyaratkan apabila tekad sudah bulat untuk melaksanakan hasil kesepakatan dalam musyawarah tersebut dalam saat yang sama harus diikuti dengan sikap tawakal kepada Allah SWT.
- Q.S. Asy-Syura/42: 38.
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ
Artinya: Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Ayat ini berisi penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin, yaitu mengamalkan perintah Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW; mengerjakan sholat, memusyawarahkan urusan mereka, dan menafkahkan sebagian rezeki yang mereka peroleh. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa musyawarah merupakan salah satu bentuk ibadah, dan sejajar dengan bentuk-bentuk ibadah yang lain.
Sekarang coba Anda perhatikan dalam pemaparan ayat-ayat tentang musyawarah di atas, Anda dapat menarik kesimpulan bahwa musyawarah adalah salah satu kaidah syari’at dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan.
Dan menjadi pilar penting untuk membangun persatuan dan kesatuan masyarakat. Kewajiban bermusyawarah sebagaimana telah disinggung di atas berimplikasi kepada perlunya pembentukan institusi yang menyelenggarakan musyawarah atau semacam pelembagaan terhadap musyawarah. Hal ini terlihat dalam sejarah baik pada masa Rasulullah SAW maupun pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidunn. Pada masa Rasul SAW meskipun tidak disebut secara resmi namun keberadaan para sahabat mendampingi Rasulullah SAW dan para Khalifah sesudahnya, sebagai mitra dialognya dapat dijadikan indikator tentang pelembagaan musyawarah dalam bermasyarakat.
Sekarang kita beralih untuk membicarakan tentang obyek atau mang lingkup musyawarah, Al-quran tidak memberikan penjelasan secara rinci. Namun dengan melihat ayat lain yang menggunakan ungkapan musyawarah seperti telah disebut di atas, antara lain Q.S. al-Baqarah/2: 223; obyek musyawarah dalam ayat ini adalah masalah rumah tangga. Dalam dua ayat yang lain Q.S. Ali Imran/3: 159 dan Q.S. al-Syura/42: 38, obyek musyawarah dalam dua ayat tersebut diisyaratkan dengan kata amr yang kemudian diterjemahkan dengan urusan.
Dari penjelasan di atas obyek yang dapat dimusyawarahkan adalah segala sesuatu yang belum diatur secara tegas dalam Al-quran dan Sunnah. Sementara hal-hal yang memang secara tegas telah diatur maka tidak boleh untuk dimusyawarahkan. Contoh tentang perintah sholat maka para ulama tidak berwenang lagi membahas hukumnya, tetapi sebatas mengatur bagaimana tata cara pelaksanaan yang diajarkan oleh Rasulullah, SAW. Saya percaya Anda akan dengan mudah mencari contoh-contoh masalah tersebut. Sekarang kita beralih kepada persoalan bagaimana tata cara musyawarah yang diajarkan oleh Islam.
Contoh terbaik yang dapat kita tampilkan adalah musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari fakta sejarah dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW mengambil keputusan dalam musyawarah adakalanya dengan mengikuti suara terbanyak, dan juga adakalanya mengambil keputusan meskipun tidak didukung oleh suara terbanyak. Sebagai contoh, untuk cara yang pertama dapat ditunjuk musyawarah beliau dengan para sahabat dalam menetapkan taktik Perang Uhud (3 H). Apakah mereka bertahan di dalam kota Madinah atau keluar menyongsong musuh dari Makkah. Nabi SAW sebenarnya lebih berpihak untuk bertahan di dalam kota, tetapi karena mayoritas sahabat berpendapat lebih baik keluar dari kota, beliau mengikuti pendapat mayoritas tersebut.
Keputusan tersebut beliau pegang teguh. Hal ini nampak ketika di tengah perjalanan menuju medan pertempuran di Uhud, mereka ingin menarik kembali pendapat mereka dan memberi kebebasan kepada Nabi SAW untuk mengubah keputusan itu sesuai dengan pendapat beliau sendiri. Nabi SAW juga tidak bergeming dari keputusannya itu ketika sepertiga dari pasukan muslim di bawah pimpinan ‘Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum Munafik di Madinah, menarik diri dan kembali ke Madinah karena mereka juga berpendapat lebih baik bertahan dalam kota Madinah.
Mengomentari hal tersebut Sayyid Quthb menyatakan bahwa Rasululllah SAW bukan tidak mengetahui risiko berbahaya yang akan dihadapi kaum muslim akibat keluar menyongsong musuh tersebut. Bahkan Nabi SAW telah memiliki firasat dari mimpinya yang benar, yang pernah dilihatnya dalam mimpi dan sudah dikenal kebenarannya. Rasulullah SAW menakwilkan mimpinya dengan adanya orang-orang yang terbunuh dari kalangan keluarga dan sahabatnya. Nabi SAW menakwilkan Madinah dengan benteng yang kokoh. Sebenarnya Rasulullah SAW berhak membatalkan keputusan musyawarah tetapi beliau tetap melaksanakannya sekalipun mengetahui berbagai penderitaan, kerugian dan pengorbanan yang ada dibalik itu. Karena pelaksanaan prinsip, pengajaran terhadap masyarakat dan pembinaan umat jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian-kerugian sesaat. Dari sini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa pun orangnya setelah keputusan diambil dengan jalan musyawarah maka semua harus menaatinya.
Contoh kedua adalah Nabi SAW mengambil keputusan meskipun tidak didukung suara terbanyak yaitu dalam kasus kebijaksanaan yang akan diambil terhadap tawanan dari Perang Badr (2 H). Dalam musyawarah ini Nabi SAW meminta pendapat Abu Bakr ra., Umar bin Khaththab, ra., dan Ali bin Abi Thalib. Abu Bakr ra. Berpendapat agar mereka dilepaskan saja dengan mengatakan: “Ya Nabi Allah, mereka itu adalah keluarga dan saudara-saudara Nabi SAW, maka saya berpendapat agar engkau mengambil tebusan tunai dari mereka. Yang demikian itu dapat mengurangi kekuatan mereka dan menjadi penolong bagi kita dan mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada mereka”. Kemudian beliau bertanya kepada Umar ibn Khaththab, ra: bagaimana pendapatmu Ibn al-Khaththab? “Umar menjawab: “Demi Allah, saya tidak sependapat dengan Abu Bakr, akan tetapi saya berpendapat bahwa kalau engkau memberi kuasa kepadaku seseorang maka saya akan potong lehernya, demikian juga engkau memberi kuasa kepada ‘Ali bin Abi Thalib ra. Untuk membunuh saudaranya ‘Aqil. Dengan demikian
Allah mengetahui di dalam hati kita tidak bersifat lemah lembut terhadap orang kafir. Sebab mereka itu adalah para pemimpin dan pemuka kaum Quraisy”. Ali ibn Abi Thalib diriwayatkan tidak memberikan pendapat. Dan pada akhirnya Nabi cenderung kepada pendapat Abu Bakr. Namun masih memberi kelonggaran kepada para sahabat untuk memilih: membunuh atau melepaskan para tawanan dengan tebusan. Namun keputusan oleh Nabi SAW tersebut akhirnya dikritik oleh Al-quran dengan turunnya ayat 67-68 surat Al- Anfaal/8 yang mengomentari keputusan mengambil tebusan dari para tawanan tersebut.
Artinya: Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan perang sebelum ia kukuh di muka bumi, kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah SWT menghendaki akhirat dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana* Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar disebabkan apa yang telah kamu ambil.
Musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan urusan publik, bahkan urusan pribadi atau individu Nabi SAW juga melakukan musyawarah. Sebagai contoh adalah dalam kasus yang dikenal sebagai Hadits al-ifki, Nabi SAW meminta pendapat para sahabat di antaranya adalah Usamah ibn Zaid, Ali bin Abu Thalib, Ummu Aiman dan Zaid bin Stabit. Dan akhirnya Nabi SAW menerima usul Zaid bin Stabit untuk menunggu wahyu.
Peristiwa di atas adalah beberapa contoh di mana Nabi SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat atau kaum muslimin. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh di mana Nabi SAW mengadakan musyawarah dengan kaum Yahudi. Hal ini penting untuk dapat menjadi pijakan bahwa hak untuk menentukan pendapat sebenarnya adalah hak setiap warga masyarakat sebagai anggota komunitas umat, bukan eksklusif kelompok tertentu.
Ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan Yahudi yang sudah berkeluarga melakukan zina, para rahib Yahudi Bani Quraizhah berkumpul di bait al-Midras untuk membicarakan hukuman bagi pelaku zina tersebut. Para
rahib berselisih pendapat tentang hukuman spa yang harus dijatuhkan bagi keduanya. Kemudian mereka sepakat untuk membawa masalah tersebut kepada Muhammad SAW untuk mendapatkan pandangan beliau tentang masalah tersebut. Sebelum memberikan pendapatnya Nabi SAW bertanya kepada para rahib Yahudi tersebut tentang apakah ada dalam Taurat jenis hukuman bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga. Mereka mengatakan bahwa bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga hukumannya adalah rajam. Atas dasar ini Muhammad SAW menetapkan hukuman bagi keduanya adalah rajam.
Dari pemaparan contoh-contoh musyawarah yang dipraktekkan Rasulullah SAW dapat disimpulkan bahwa Nabi SAW tidak memberikan petunjuk yang rinci tentang pola dan prosedur tertentu dalam musyawarah. Demikian juga dengan jumlah peserta musyawarah. Pada saat tertentu beliau hanya bermusyawarah atau meminta pendapat dengan sahabat-sahabat yang ahli dan cendekia, pada saat yang lain beliau hanya meminta pendapat dari salah seorang di antara mereka. Tetapi apabila masalahnya penting dan berdampak luas bagi kehidupan sosial masyarakat beliau bermusyawarah dengan sejumlah besar orang yang merupakan representasi dari berbagai macam golongan yang ada di masyarakat. Sebagaimana telah disebut di atas dalam mengambil keputusan Nabi SAW tidak terikat kepada suara mayoritas, terkadang kelompok minoritas juga didengar dan kemudian diikuti pendapatnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa manusia (umat Islam) mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan bentuk, sistem dan prosedur musyawarah yang disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat serta kebutuhan warga masyarakatnya. Yang terpenting dari pelaksanaan musyawarah adalah bukan pada pola dan prosedurnya melainkan kualitas hasil musyawarah tersebut. Untuk itu prinsip-prinsip Islam tentang musyawarah harus dipegang teguh semua peserta musyawarah yaitu kebebasan, keadilan dan persamaan hak dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Maka yang terpenting adalah bukan siapa yang menyampaikan pendapat, dari kelompok mayoritas atau minoritas tetapi bagaimana kualitas pendapat tersebut bagi kemaslahatan umat. Sehingga peserta musyawarah terlebih lagi yang memimpin musyawarah harus dapat berlaku adil.
Anda dapat membayangkan betapa indahnya sebuah kebersamaan itu. Betapapun perbedaan muncul dalam masyarakat kalau anggota warganya
mau mengedepankan jalan musyawarah untuk mengatasinya pasti semua akan damai dan persatuan dan kesatuan pasti akan terwujud.
Referensi:
Nurdin,Ali.dkk. 2016. Pendidikan Agama Islam.Tanggerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka. 8.27
Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam Nasionalisme dalam ajaran Islam
One thought on “Nasionalisme Dalam Ajaran Islam”