Permasalahan Pertanian Di Indonesia

Permasalahan Pertanian Di Indonesia

Permasalahan Pertanian Di Indonesia

Permasalahan Pertanian Di Indonesia sangat pelik dan berkepanjangan. Banyak solusi ditawarkan tapi permasalahan pertanian di Indonesia alih-alih membaik justru semakin runyam. dalam artikel ini akan mencoba membahas sedikit tentang permasalahan tersebut. selamat membaca…

PERKEMBANGAN PERTANIAN INDONESIA

Dinamika perkembangan pertanian Indonesia menunjukkan kecenderungan yang cukup memprihatinkan. Dalam kurun waktu tahun 2001-2003 sebanyak 610.596 ha sawah (termasuk yang produktif) berganti menjadi kawasan pemukiman dan kegiatan lain. Meski lahan pertanian menyempit, jumlah petani justru meningkat dari 20,8 juta (tahun 1993) menjadi 25,4 juta (Sensus Pertanian 2003). Rata-rata kepemilikan lahan petani mengalami penurunan drastis, yaitu tinggal kurang dari 0,25 ha per jiwa (Bambang Ismawan, 2005). Hasil Sensus Pertanian 10 tahun kemudian, tercatat bahwa jumlah petani kembali meningkat mencapai 31,70 juta orang (Sensus Pertanian 2013). Sementara jumlah lahan sawah pertanian menyusut hingga mencapai angka 8,1 juta ha. Penyusutan bertambah cepat dengan semakit cepatnya pertumbuhan kota yang membutuhkan lahan pertanian baik untuk permukiman maupun untuk industri.

Kondisi makin mengkhawatirkan karena tingkat pendapatan petani yang tidak berubah secara signifikan. Pendapatan semusim (padi) hanyalah antara Rp325.000,00- Rp543.000,00 atau hanya Rp81.250,00 – Rp135.000,00 per bulan. Dalam suatu studi ditemukan bahwa 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil berasal dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm), misalnya kuli bangunan, ojek, tukang becak, membuka warung, sektor informal, dan lain-lainnya. Dalam kategori ini, sebenarnya dapat dikatakan tidak ada lagi “masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.

Baca Juga: Dampak Pajak PPN Pada Produk Pertanian

Situasi diperburuk dengan terancamnya ekologis (lingkungan) yang menjadi basis produksi pertanian. Rusaknya sistem ekologis itu ditandai dengan merosotnya tingkat kesuburan tanah antara lain karena massifnya penggunaan bahan an-organik dalam pupuk dan obat pembasmi hama. Departemen Kimpraswil menyatakan bahwa 1,5 juta ha lahan irigasi yang menjadi tumpuan penyediaan air bagi tanaman pertanian telah rusak. Hal ini mengakibatkan kekeringan yang meluas di beberapa wilayah pertanian. Pada saat yang sama, hewan-hewan alami seperti burung, ikan, dan berbagai jenis binatang lain, jumlahnya makin menurun dan banyak yang mendekati kepunahan. Hal ini sebagian disebabkan kegiatan eksplorasi dan industrialisasi yang merambah di wilayah-wilayah perhutanan. Sementara, jumlah dan jenis tanaman, baik tanaman pangan, hias, maupun pelindung pun makin merosot.

Fenomena di atas tidak terlepas dari konteks historis sejarah transformasi ekonomi-politik pertanian di Indonesia sejak era kolonial hingga era liberalisasi dewasa ini. Secara garis besar fase-fase penting perkembangan kondisi, sistem, dan struktur pertanian Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Struktur pertanian Indonesia tidak lepas dari bentukan proses kolonialisme bangsa asing yang berlangsung sangat lama. Struktur pertanian yang menempatkan mayoritas petani kecil tetap miskin di lapis paling bawah disubordinasi oleh pelaku ekonomi besar pun merupakan warisan sistem dan struktur ekonomi kolonial. Pasca kemerdekaan belum terjadi reformasi sosial yang mampu mengubah pola hubungan ekonomi yang timpang tersebut. Petani dan pertanian rakyat kita begitu terpuruk pasca monopoli kongsi dagang VOC yang kemudian makin dihisap lagi setelah pemerintah kolonial menerapkan sistem tanam paksa (culture stelsel). Petani dipaksa menanam komoditi yang dibutuhkan pasaran Eropa.
  2. Sistem kapitalis-liberal yang berlaku sesudahnya pun hanya menjadikan Indonesia sebagai ondernaming besar sekaligus sumber buruh murah bagi perusahaan-perusahaan swasta Belanda. Perkebunan-perkebunan besar mereka kuasai dan lagi-lagi produksinya ditujukan untuk memenuhi pasar luar negeri. Pertanian rakyat tetap saja diperas dan makin kehilangan dayanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memakmurkan petani.
  3. Reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 yang mengatur redistribusi tanah dan UU Perjanjian bagi Hasil (1964) yang mengubah pola bagi hasil untuk mengoreksi struktur pertanian kolonial justru makin kehilangan vitalitasnya, terlebih di era Orde Baru yang berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi (dan menganut developmentalisme).
  4. Revolusi Hijau yang mengimbas ke Indonesia ditandai dengan pengunaan bibit-bibit baru dan teknologi (biologis dan kimiawi) pemberantasan hama dari luar negeri Indonesia memang mampu melakukan swasembada beras pada tahun 1984. Namun, revolusi hijau ternyata lebih menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik, tetapi pendapatan turun akibat mahalnya input pertanian, misalnya pupuk. Term of Trade petani pun turun dan distribusi pendapatan makin timpang.
  5. Liberalisasi pertanian yang disyaratkan IMF dan WTO kini ditandai oleh bebas masuknya produk-produk pertanian (pangan) seperti beras, gula, daging, ayam, jagung, dan buah-buahan yang memukul petani dalam negeri. Liberalisasi ini menguntungkan korporat besar yang menguasai input pertanian (benih, pupuk, dan obat-obatan) dan perdagangan (pasar) internasional. Kesejahteraan petani dalam negeri tidak meningkat secara signifikan.

MASALAH STRUKTURAL PERTANIAN INDONESIA

Pembangunan pertanian yang belum mampu mengangkat kesejahteraan petani, bahkan terjadi bencana kelaparan dan gizi buruk di berbagai daerah, merupakan indikasi belum dipecahkannya masalah-masalah struktural yang membelit pertanian Indonesia. Masalah ini berat karena menyangkut keseluruhan aspek struktur, sistem (aturan main), dan kebijakan pertanian, bukan sekadar masalah yang terkait dengan usaha pertanian. Setiawan (2003) merumuskan bahwa masalah struktural itu adalah bagaimana mentransformasikan puluhan juta kaum tani miskin marjinal ke dalam dunia pertanian yang lebih modern dan yang memungkinkan mereka hidup layak.

Baca Juga: Permasalahan Kemiskinan di Indonesia

Prof Mubyarto pada tahun 1989 sudah menguraikan berbagai persoalan mendasar ekonomi pertanian di Indonesia, di antaranya adalah:

Jarak Waktu yang Lebar antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan dalam Pertanian

Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu, atau bahkan kadang- kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen. Pada musim panen (dalam keadaan pasar yang normal) terdapat harga yang rendah dan pada musim paceklik harganya tinggi. Karena itu petani dua kali terpukul, pertama harga produksinya rendah dan kedua petani harus menjual lebih banyak untuk mencapai keperluannya. Yang sering merugikan petani adalah pengeluaran-pengeluaran yang kadang-kadang tidak dapat diatur dan tidak dapat ditunggu sampai panen tiba. Dalam hal demikian petani sering menjual tanamannya pada saat masih hijau di sawah baik dengan harga penuh atau berupa pinjaman sebagian (dikenal dengan sistem ijon).

Pembiayaan Pertanian

Dengan titik tolak adanya kemelaratan yang luas di kalangan petani, keterlibatan mereka pada utang, baik utang biasa maupun dengan sistem ijon, maka sering dapat disimpulkan bahwa persoalan yang paling sulit dalam ekonomi pertanian Indonesia adalah persoalan pembiayaan pertanian. Jatuhnya petani dalam sistem ijon karena tidak adanya kredit alternatif kredit yang lebih baik bagi petani, padahal mereka memerlukan kredit murah agar mampu meningkatkan produksi dan pendapatannya.

Tekanan Penduduk

Persoalan penduduk di Indonesian begitu kompleks yaitu tidak hanya penduduk sangat padat dan pertambahan tiap tahun yang tinggi, tetapi juga persebarannya yang tidak merata antardaerah. Adanya persoalan penduduk dalam konteks ekonomi pertanian dapat dilihat dari tanda-tanda bahwa:

  1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil,
  2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun,
  3. bertambahnya pengangguran,
  4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya utang-utang pertanian.

Dengan demikian, masalah penduduk tidak lagi semata-mata merupakan perbandingan jumlah kelahiran dan produksi makanan, persebaran (geografi sosial), demografi (KB) atau masalah kesehatan dan gizi, melainkan gabungan keseluruhan persoalan kehidupan petani sehari-hari.

Pertanian Subsistem

Pertanian subsistem diartikan sebagai suatu sistem bertani di mana tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarganya. Produksi subsistem murni ditandai tidak adanya aspek- aspek komersial dan penggunaan uang. hubungan antara usaha tani dan rumah tangga petani sangatlah erat, kegiatan produksi menyatu dengan kegiatan konsumsi. Karena teori ekonomi menganalisis dua kegiatan itu secara terpisah sehingga teori ini tidak dapat dipakai. Kebijakan pemerintah yang tidak berpijak pada kondisi ini sering kali berakibat yang sebaliknya, tidak sesuai sasaran dan tujuan yang diinginkan. Persoalan menjadi makin berat seiring bertambahnya jumlah buruh tani dan petani subsistem yang hidupnya serba miskin, yang merupakan warisan struktur dan sistem ekonomi kolonial.

Baca Juga: Bagaimana mengatasi kemiskinan di Indonesia ?

Kepemilikan lahan yang sempit dan makin menurun (rata-rata 0,5 ha per jiwa) merupakan masalah struktural pertanian Indonesia yang krusial. Hal ini terjadi karena tanah (lahan) merupakan aset produktif yang turut menentukan corak (cara) produksi dalam pertanian Indonesia. Konsentrasi pemilikan lahan cenderung mengakibatkan cara-cara produksi yang tidak demokratis, dalam arti tidak dapat melibatkan partisipasi petani kecil secara luas dalam proses produksi. Demokratisasi dalam proses produksi tidak akan efektif tanpa ada upaya melakukan redistribusi aset produktif tersebut.

Di sisi lain, masalah yang cukup pelik adalah belum meratanya distribusi modal dalam sektor pertanian, baik modal dalam bentuk material, intelektual, maupun institusional. Modal material berupa kredit murah tanpa agunan masih sulit diperoleh petani kecil karena minimnya ketersediaan dana dan prosedur yang cenderung konvensional. Modal intelektual berupa peningkatan wawasan dan keahlian petani dan akses pendidikan yang murah dan berkualitas bagi keluarga (anak-anak) mereka pun masih sulit ditingkatkan. Di sisi lain, modal institusional berupa pemberdayaan organisasi-organisasi tani sebagai kekuatan kolektif untuk meningkatkan daya tawar mereka pun sulit diwujudkan. Demokratisasi modal perlu dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.

Harga komoditi pertanian (terutama beras) yang rendah pun menjadi masalah tersendiri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam hal ini berlaku sistem yang merugikan petani, di mana mereka harus menyangga kebutuhan pokok masyarakat perkotaan dengan kontraprestasi yang sangat minimal. Harga rendah tersebut merupakan paksaan dari situasi di mana upah buruh di perkotaan cenderung ditekan serendah mungkin, padahal mereka harus tetap memenuhi kebutuhan hidup minimal seperti halnya pangan. Para petanilah yang menyediakan kebutuhan mereka dengan harga yang rendah, sesuai dengan daya beli mereka. Jadi di sini berlaku sistem di mana petani mensubsidi korporat (bergaji tinggi) dan ekonomi pedesaan mensubsidi ekonomi perkotaan. Sebuah pola hubungan ekonomi yang subordinatif dan eksploitatif yang menjadi masalah struktural stagnasi kesejahteraan petani kecil.

Mengacu pada kerangka pemikiran John Madeley (2005), masalah struktural pertanian adalah berupa kerawanan pangan, yang terkait dengan kedaulatan dan ketahanan pangan. Dalam konteks pertanian Indonesia, berbagai aspek internal-eksternal yang menjadi faktor penyebab (langsung dan tidak langsung) kerawanan pangan di Indonesia di antaranya adalah:

  1. Tanah tandus dan bencana alam yang menurunkan produktivitas dan menghancurkan tanaman pangan.
  2. Terbatasnya sumber-sumber pendanaan yang dapat diakses petani secara mudah, murah, dan terarah kepada petani kecil (miskin).
  3. Banyaknya utang negeri yang membebani anggaran negara dan penuh persyaratan (misalnya harus melakukan liberalisasi impor), sehingga membatasi kemampuan negara dalam mengembangkan komoditas pangan.
  4. Pengabaian peran perempuan sebagai pelaku sektor pertanian yang produktif.
  5. Konflik kepentingan dalam penguasaan dan penggunaan lahan yang sering berakhir dengan penggusuran lahan pertanian pangan berganti bisnis lain.
  6. Perubahan iklim akibat pemanasan global yang disebabkan industrialisasi yang tidak berwawasan (bahkan merusak) konservasi sumber daya alam.
  7. Pertambahan jumlah penduduk yang makin pesat, yang diikuti dengan makin mengecilnya luas pemilikan lahan karena konversi (misal perumahan).
  8. Merosotnya ketersediaan air untuk usaha pertanian dengan makin tumbuhnya bisnis-bisnis baru, termasuk usaha air minum, yang berdekatan dengan areal tanaman pangan.
  9. Tidak dikembangkannya diversifikasi pangan secara serius padahal potensi biodiversifikasi Indonesia sangatlah luar biasa.
  10. Pemangkasan dana kesehatan yang meningkatkan pengeluaran petani kecil sehingga berpotensi memperburuk kondisi gizi pangan mereka.

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Peranan pemerintah dalam pembangunan pertanian Indonesia adalah berupa pembuatan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk memperbaiki kesejahteraan petani. Meskipun kadang kebijakan yang dibuat pemerintah pun dapat merugikan bahkan memperburuk kesejahteraan petani. Bidang- bidang kebijakan pertanian yang spesifik meliputi kebijakan harga, kebijakan pemasaran, dan kebijakan struktural. Bidang kebijakan yang lebih khusus lainnya menyangkut pengaturan-pengaturan kelembagaan baik yang langsung terdapat di sektor pertanian maupun di sektor-sektor lain yang ada hubungannya dengan sektor pertanian, misalnya landreform, penyuluhan pertanian, dan lain-lain (Mubyarto, 1989).

Kebijakan Harga: Kebijakan Pangan Murah

Secara teoretis kebijakan harga dapat dipakai mencapai tiga tujuan, yaitu

  1. Stabilisasi harga-harga hasil pertanian terutama pada tingkat petani,
  2. Meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan dasar tukar (term of trade),
  3. Memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.

Kebijakan harga yang diterapkan di Indonesia misalnya kebijakan harga beras minimum dan harga beras maksimum. Kebijakan ini ditekankan untuk mencapai tujuan yang pertama, yaitu stabilisasi harga hasil pertanian. Kebijakan umum yang ditempuh pemerintah adalah kebijakan pangan murah. Hal ini dikaitkan dengan strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. Strategi ini dijalankan dengan mendorong industrialisasi yang berbasis di wilayah perkotaan. Kebijakan ini justru menghambat perbaikan kesejahteraan petani, selain juga tidak mendorong perkembangan ekonomi pedesaan.

Kebijakan Pemasaran

Kebijakan pemasaran dilakukan untuk memasarkan hasil-hasil pertanian yang bertujuan ekspor, selain pengaturan distribusi sarana produksi bagi petani. Pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat di antara pedagang dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida, dan lain-lain, sehingga petani dapat membeli sarana produksi tersebut dengan harga yang tidak terlalu tinggi. Perubahan peranan pemerintah karena liberalisasi pertanian telah mengecilkan kemampuan pemerintah dalam mengatur pasar, sehingga petani kesulitan untuk mendapatkan sarana produksi tersebut dengan harga yang terjangkau. Hal ini misalnya diindikasikan dengan makin mahalnya harga pupuk, yang sering disebabkan karena langkanya persediaan di pasaran padahal pemerintah menjelaskan bahwa pasokan sarana produksi tersebut cukup memadai, bahkan berlebih.

Kebijakan Struktural

Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki struktur produksi misalnya luas pemilikan lahan, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru, dan perbaikan sarana pertanian yang umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi. Penguasaan aset produktif berupa lahan yang terlalu kecil dan tidak merata mengakibatkan rendahnya produktivitas yang berimbas pada sulitnya upaya peningkatan kesejahteraan petani kecil. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah dengan mengatur kembali distribusi pemilikan lahan (land reform) yang diupayakan secara adil dan demokratis. Kebijakan lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengembangkan teknologi lokal dan mengenalkan teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan petani melalui pelatihan-pelatihan dan penyuluhan yang intensif.

Di samping itu, kebijakan yang terkait dengan upaya pemberdayaan petani adalah kebijakan penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ini ditempuh melalui pembuatan program-program yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani, memperkuat kelembagaan kelompok tani, dan mempermudah akses petani miskin terhadap sarana produksi, pasar, dan pembiayaan usaha tani. Pola yang lazim digunakan adalah pola kredit bergulir (revolving grant) yang diarahkan sebagai basis pengembangan lembaga keuangan mikro.

PERTANIAN INDONESIA DI ERA LIBERALISASI

Liberalisasi sektor pertanian diawali dengan masuknya Indonesia ke dalam Perjanjian Pertanian (Agriculture on Agreement/AoA) di tahun 1995 dan diterimanya Letter of Intent (loI) IMF di tahun 1997. Liberalisasi pertanian secara sederhana diwujudkan dengan menyerahkan sistem pertanian (dan nasib petani) kepada mekanisme pasar (bebas), yang kemudian berlaku liberalisme pertarungan bebas (free-fight liberalism). Beberapa ketentuan yang diatur dalam AoA adalah sebagai berikut (Setiawan, 2003: 73):

  1. Pengurangan dukungan domestik; pengurangan total atas subsidi domestik yang dianggap “mendistorsi perdagangan” berkisar pada 20 persen dari ukuran dukungan agregat dari acuan tahun 1986-1988.
  2. Pengurangan subsidi ekspor; jumlah subsidi ekspor akan dikurangi sebesar 21 persen dari tiap produk sesuai rata-rata tahun 1986-1990, pengeluaran anggaran subsidi ekspor dikurangi 36 persen selama 6 tahun.
  3. Perluasan akses pasar; seluruh hambatan impor akan dikonversikan ke tarif dan dikurangi hingga 36 persen selama 6 tahun (negara maju) dan 24 persen selama 10 tahun (negara berkembang).

Liberalisasi pertanian telah merugikan pertanian Indonesia. Misalnya, liberalisasi perberasan yang dilakukan IMF telah berdampak buruk pada kebijakan perberasan, yaitu (Setiawan: 69):

  1. Subsidi pupuk dicabut pada tanggal 2 Desember 1998, diikuti dengan liberalisasi pupuk yang sebelumnya dimonopoli PUSRI. Akibatnya biaya produksi melonjak, sehingga harga dasar gabah dinaikkan dari Rp1000/kg menjadi Rp1400-Rp 1500/kg tergantung wilayahnya.
  2. Monopoli impor beras oleh Bulog dicabut akhir tahun 1999, sehingga kini impor terbuka bagi siapa saja dan tidak terkontrol lagi.
  3. Bea masuk komoditas pangan dipatok maksimum 5 persen. Bagi beras, walaupun monopoli impor oleh Bulog dicabut, bea masuk tetap 0 persen. Akibatnya arus impor beras, gula, bahkan bawang merah yang deras makin memukul petani Indonesia.

Liberalisasi pertanian merupakan ekses penerapan pasar (perdagangan) bebas. Pasar bebas pertanian sendiri sebenarnya mempunyai “cacat” baik dalam tataran filosofi-teoretis, maupun tataran empiris-aplikatifnya. Secara teoretis, pasar bebas pertanian hanya akan menguntungkan (menyejahterakan) kedua belah pihak apabila dua asumsi utamanya terpenuhi, yaitu tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi antar kedua negara seimbang, dan modal tidak dapat bergerak lintas negara.

Kenyataannya, asumsi ini tidak terpenuhi karena kekuatan ekonomi antarnegara sangatlah timpang dan modal bebas bergerak ke manapun. Sepintas mungkin terjadi perdagangan antarnegara, tetapi bisa jadi yang berdagang sebenarnya adalah korporat asing (di dalam negeri) dengan korporat di luar negeri, sehingga kesejahteraan masyarakat tidak berubah secara signifikan. Hal ini makin meyakinkan bahwa liberalisasi (pasar bebas) pertanian adalah kepentingan korporat dan negara maju. Liberalisasi pertanian digunakan untuk memperluas dan menguasai pasar komoditi pertanian di negara sedang berkembang termasuk Indonesia.

Secara empiris, terbukti AS dan Eropa yang paling gencar mempropagandakan perdagangan bebas justru adalah negara-negara yang protektif terhadap pertanian mereka. Setiap petani di negara maju tersebut (termasuk Jepang) mendapat subsidi dari pemerintah setempat agar produknya mampu bersaing dan menguasai pasar luar negeri. Bahkan seekor sapi di Inggris memperoleh subsidi sebesar 2 US$ per hari agar mempunyai daya saing yang tinggi karena dapat dijual dengan harga yang relatif murah. Total dukungan Uni Eropa terhadap pertanian mereka adalah senilai US$ 35,5 milyar per tahun, sedangkan dukungan AS berjumlah sekitar US$ 85 milyar per tahunnya. Proteksi yang dilakukan negara maju tidak lagi berupa tarif dan kebijakan sejenisnya, melainkan sudah mengarah pada proteksi yang terkait dengan kemajuan teknologi. Biasanya mereka mensyaratkan kriteria- kriteria tertentu bagi masuknya komoditi dari negara sedang berkembang yang sulit mereka penuhi, seperti halnya standar lingkungan, pekerja, dan standar mutu lainnya.

PEMBANGUAN PERTANIAN YANG MENYEJAHTERAKAN PETANI

Mubyarto (2000) menegaskan bahwa kebijakan pembangunan pertanian yang berorientasi pada kesejahteraan petani harus berisi kebijakan-kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan, karena dalam kenyataan petani yang lahan garapannya sangat sempit (petani gurem) selalu berpola nafkah ganda, yaitu tidak mungkin menggantungkan pendapatannya hanya dari usaha tani saja tetapi juga dari usaha-usaha lain (off-farm) di luar usaha tani. Program P4K (Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan Nelayan) di seluruh Indonesia dilaporkan telah berhasil mengembangkan pola usaha dan pola nafkah ganda usaha tani. Program-program semacam ini harus ditingkatkan oleh pemerintah atau departemen pertanian agar senantiasa dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Secara spesifik Mubyarto menguraikan beberapa kebijakan komoditi pertanian yang berorientasi pada kesejahteraan petani sebagai berikut.

  1. Indonesia patut kembali mewujudkan swasembada beras. Keterbatasan produksi dalam negeri dapat menyebabkan Indonesia mengimpor beras di pasar dunia. Untuk itu Indonesia harus terus-menerus memberikan perangsang pada petani produsen beras dalam negeri agar terus bergairah meningkatkan produksi, jika perlu melalui berbagai subsidi sarana produksi termasuk subsidi kredit usaha tani. Subsidi pertanian seperti yang diterapkan di negara-negara maju tidak boleh dianggap merupakan kebijakan yang keliru di Indonesia.
  2. Tidak hanya beras tetapi juga komoditi jagung dan kedelai kini diimpor dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sub- sektor peternakan Indonesia kini membutuhkan jagung dan kedelai serta kacang tanah yang merupakan sumber protein nabati yang diperlukan Indonesia setelah kebutuhan akan karbohidrat terpenuhi. Kebijakan peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian palawija yang selama ini relatif terlantar sangat dianjurkan sehingga Indonesia tidak “terpaksa” lagi mengimpor komoditi pertanian tersebut dalam jumlah besar, khususnya dalam mendukung perkembangan industri peternakan.
  3. Jika kini Indonesia mengimpor gula hampir sama besar dengan volume produksi dalam negeri menimbulkan pertanyaan kebijakan pertanian, apa yang salah di masa lalu? Inpres No. 9/1975 tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) melarang pabrik-pabrik gula (BUMN maupun pabrik- pabrik swasta) menyewa tanah rakyat untuk menanam tebu dengan alasan naif “tebu harus ditanam oleh petani sendiri”. Keluarnya Inpres ini membuktikan betapa pemerintah membuat kebijakan tanpa memahami kondisi riil usaha tani tebu. Inpres No. 9/1975 telah “merusak” atau “menghancurkan” sistem produksi dan hubungan- hubungan produksi dan perdagangan tebu dan gula dalam negeri, yang mengakibatkan produksi gula Indonesia merosot padahal konsideran Inpres TRI sesungguhnya adalah untuk menaikkan produksi dan produktivitas gula di dalam negeri. Kita memerlukan pembaruan kebijakan usaha tani tebu dan industri gula yang bersifat menyeluruh dan “nasionalistik” yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan harga dasar padi/beras.
  4. Untuk mempertahankan perangsang berproduksi bagi petani dalam berbagai komoditi yang dihasilkannya, pemerintah harus merevitalisasi kebijakan harga dasar padi sekaligus dalam kaitannya dengan harga- harga gula, jagung, kedelai, dan harga tertinggi bagi sarana produksi

pupuk dan obat-obatan (pestisida dan insektisida). Hubungan-hubungan harga-harga yang menarik antara komoditi pertanian dengan sarana produksi yang diperlukan petani (nilai tukar atau Term of Trade) tidak pernah secara serius digarap oleh pemerintah dan departemen pertanian. Pendekatan dan pengembangan sistem agribisnis yang terkesan semakin “agresif” berakibat pada penekanan berlebihan pada aspek bisnis atau aspek keuntungan dan “efisiensi” berusaha tani, tetapi dengan mengabaikan kenyataan masih besarnya peran usaha tani subsistem dalam pertanian kita yang tidak harus menomorsatukan asas efisiensi. Petani miskin dalam pertanian subsistem harus diberdayakan bukan justru dianggap “tidak ada”, atau “perlu dihilangkan”, karena harus mengikuti hukum-hukum bisnis pertanian komersial. Tuntutan yang keliru agar pertanian Indonesia meningkatkan daya saing dengan mengikuti hukum-hukum persaingan internasional, yang “mengharamkan subsidi”, harus dilawan dengan segala kekuatan oleh pakar-pakar kita

Rangkuman Permasalahan Pertanian Di Indonesia

Modernisasi pertanian belum mengubah struktur dan pola hubungan ekonomi warisan sistem kolonial yang menempatkan petani kecil sebagai mayoritas di stratum terbawah dengan kepemilikan aset dan pendapatan yang minim. Rendahnya taraf kesejahteraan petani terkait dengan masalah struktural pertanian yaitu jarak yang lebar antara pengeluaran dan pendapatan petani, tekanan penduduk, pembiayaan, dan pertanian subsistem.

Kebijakan pemerintah dalam membangun pertanian bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu kebijakan harga (harga pangan murah), kebijakan pemasaran, kebijakan struktural, dan kebijakan yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ini belum sepenuhnya mampu memecahkan masalah struktural pertanian yang terkait intensifnya liberalisasi pertanian yang merugikan petani dalam negeri. Liberalisasi pertanian meliputi pengurangan dukungan domestik, pengurangan subsidi ekspor, dan perluasan akses pasar.

Upaya untuk menyejahterakan petani dilakukan dengan mewujudkan kebijakan swasembada beras, meningkatkan produksi komoditi pertanian palawija, pembaruan kebijakan usaha tani tebu dan industri gula yang bersifat menyeluruh dan “nasionalistik”, dan pemerintah harus merevitalisasi kebijakan harga dasar padi sekaligus dalam kaitannya dengan harga-harga gula, jagung, kedelai, dan harga tertinggi bagi sarana produksi pupuk dan obat-obatan (pestisida dan insektisida).

Sumber

Hamid, Edy Suandi. 2021. Perekonomian Indonesia. Tanggerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka. Hal 2.3

Permasalahan Pertanian Di Indonesia Permasalahan Pertanian Di Indonesia Permasalahan Pertanian Di Indonesia Permasalahan Pertanian Di Indonesia Permasalahan Pertanian Di Indonesia Permasalahan Pertanian Di Indonesia Permasalahan Pertanian Di Indonesia

One thought on “Permasalahan Pertanian Di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Releated