Politik dalam ajaran Islam

Politik Dalam Ajaran Islam

Politik Dalam Ajaran Islam

Politik dalam ajaran Islam merupakan salah satu hal yang pokok. Yang dimaksud kehidupan politik dalam tulisan ini tentu bukan hanya di Indonesia melainkan di wilayah manapun, kalau nantinya kita hanya membuat contoh masalah politik di Indonesia itu hanyalah bagian dari usaha untuk lebih memahami pokok bahasan. Karena kita adalah sebagai seorang muslim yang tinggal di wilayah Indonesia.

Untuk menjelaskan tentang kontribusi agama dalam kehidupan politik, maka hal yang harus terlebih dahulu dipahami adalah pengertian agama sebagai seperangkat aturan atau ajaran. Hal ini harus ditegaskan supaya pembahasan kita tidak melebar ke mana-mana. Karena seperangkat ajaran maka kontribusinya dalam bidang kekuasaan politik pun harus kita lihat dalam konteks normatif yaitu sebagai sebuah konsep atau aturan. Maka secara sederhana pembahasan kita dapat dimulai dari menjelaskan tentang konsep-konsep yang ditawarkan oleh Islam (Al-quran) dalam bidang kekuasaan politik, untuk menjadi panduan atau petunjuk bagi setiap muslim yang ingin berkiprah dalam bidang politik.

Kita percaya bahwa boleh jadi konsep-konsep politik tersebut nantinya juga akan ada kesamaan dengan konsep yang berasal dari sumber lainnya. Dan hal tersebut wajar karena ini memang menyangkut masalah yang bersifat universal. Untuk memudahkan pembahasan maka kontribusi ajaran Islam dalam kekuasaan politik akan dibagi menjadi dua macam; pertama, Menjelaskan tentang prinsip-prinsip dasar kekuasaan politik, dan kedua menjelaskan tentang kriteria atau sosok ideal seseorang yang memegang kekuasaan politik.

PRINSIP-PRINSIP DASAR KEKUASAAN POLITIK DALAM ISLAM

Mari kita mulai untuk melihat ajaran Al-quran tentang masalah politik yang terekam dalam beberapa ayat. Meskipun ayat yang berbicara tentang prinsip-prinsip kekuasaan politik cukup banyak, namun yang secara langsung berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar kekuasaan politik ada dijelaskan dalam dua ayat; Surat An-Nisaa’/4: 58-59.

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik- baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat (58). Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (59).

Baca Juga: Nasionalisme Dalam Ajaran Islam

Dari dua ayat di atas para ulama kemudian merumuskan tentang konsep politik yang diajarkan oleh Islam (Al-quran). Konsep tersebut meliputi empat macam:

  1. Kewajiban untuk menunaikan amanah.
  2. Perintah untuk menetapkan hukum dengan adil.
  3. Perintah taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri.
  4. Perintah untuk kembali kepada Al-quran dan as-Sunnah.

Masing-masing poin tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

Kewajiban untuk Menunaikan Amanah

Redaksi yang secara langsung memerintahkan hal ini adalah “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. Apa yang dimaksud dengan amanat dalam ayat tersebut, menjadi bahasan utama para mufassir dalam ayat ini. Secara sederhana para ulama mengartikan sebagai sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanat tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan apa yang telah diamanatkan tersebut.

Sementara ahli tafsir menjelaskan sebab turun ayat tersebut berkaitan dengan peristiwa tentang kunci Ka’bah: yang berada dalam kekuasaan seorang tokoh yang bernama Usman bin Talhah, ketika terjadi penaklukan kota Mekkah oleh Rasulullah SAW pada tahun 8 H. Peristiwa tersebut bermula ketika Rasulullah SAW meminta kunci Ka’bah dari Usman bin Talhah. Ketika Usman hendak memberikan al-Abbas berkata kepadanya untuk nantinya menyerahkan kunci tersebut kepadanya alias tidak usah mengembalikan kepada Usman. Setelah mendengar hal tersebut Usman keberatan untuk memberikan kunci. Baru setelah Nabi SAW meminta untuk yang ketiga kalinya Usman memberikan dengan sambil berkata: “Inilah dia dengan amanat Allah”. Nabi pun kemudian memasuki ka’bah dan setelah keluar beliau Thawaf, kemudian turunlah ayat di atas (an-Nisa’/4: 58). Nabi pun kemudian memanggil Usman dan mengembalikan kunci tersebut kepadanya.

Dari ayat di atas dengan memperhatikan sebab turunnya, terlihat jelas bahwa amanat/kepercayaan adalah termasuk menjadi ciri utama orang yang beriman. Karena hanya orang yang beriman yang akan selalu berusaha menunaikan amanat yang dipikul di pundaknya. Dalam hal ini maka Nabi SAW bersabda “Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah”. Lawan dari sifat amanah adalah khianat dan yang memilikinya oleh agama dikecam sebagai orang yang munafik. Anda tentu sudah tahu siapa orang munafik itu, dan bukan di modul ini kita bicarakan tentang sifat orang munafik.

Sikap amanat adalah sendi utama dalam berinteraksi sosial terutama dalam bidang kekuasaan politik. Artinya bahwa setiap pejabat adalah pengemban amanat yang diberikan kepadanya untuk dapat ditunaikan dengan baik yang nantinya harus dipertanggungjawabkan. Mekanisme pertanggungjawaban inilah yang semestinya dapat menjadikan setiap pengemban amanah dapat menunaikan amanat tersebut dengan baik.

Kata amanat dalam ayat tersebut disebutkan dalam bentuk jamak maknanya adalah bahwa amanat bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga nonmaterial dan bermacam-macam. Semua diperintahkan oleh Allah untuk ditunaikan. Di antara macam-macam amanat tersebut adalah:

  1. amanat antara manusia dengan Allah SWT;
  2. amanat antara manusia dengan manusia lainnya;
  3. amanat antara manusia dengan lingkungannya;
  4. amanat antara manusia dengan dirinya sendiri.

Masing-masing amanat tersebut memiliki rincian, dan setiap rincian menuntut untuk ditunaikan, Kekuasaan politik adalah salah satu jenis amanat dan agama memerintahkan agar amanat kekuasaan politik tersebut ditunaikan. Pertanggung jawaban amanat tersebut harus diberikan oleh yang memberikan amanat dalam hal ini adalah rakyat, tetapi sebenarnya amanat tersebut juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Apabila seseorang yang mengemban amanat tersebut khilaf atau bahkan untuk tidak menunaikan amanat yang ada di pundaknya maka orang tersebut telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri di samping kepada pihak yang telah memberikan amanat dalam hal ini adalah warga masyarakat.

Dalam kaitan inilah Nabi Muhammad SAW memberikan arahan seperti yang beliau sampaikan kepada salah seorang sahabat yang bersama Abu Dzar al-Ghifari agar menjauhi jabatan politik karena pribadinya yang lemah, karena jabatan politik itu adalah amanah yang dapat menimbulkan penyesalan di hari akhirat, kecuali kalau yang bersangkutan dapat menjalankan amanat tersebut dengan baik. (Hadis Riwayat Imam Muslim).

Di antara petunjuk agama yang harus diperhatikan bagi siapa saja yang memegang kekuasaan politik adalah diperintahkannya menunaikan amanat berupa usaha mencerdaskan rakyat dan membangun mental dan spiritual. Hal ini diisyaratkan dalam surat Al-Baqarah/2: 151.

كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ

Artinya: Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mencucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Dalam ayat tersebut jelas diungkapkan bahwa tugas Nabi SAW sebagai pemegang kekuasaan politik saat itu di Madinah dan di samping seorang Rasul, di antaranya adalah untuk mencerdaskan umat dan membangun mental spiritual sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tangguh yang pada gilirannya diharapkan dapat menunaikan tugas-tugas kekhalifahan manusia di muka bumi yaitu membangun bumi yang makmur untuk kemaslahatan bersama.

Bertolak dari pandangan di atas kita mendapat gambaran yang cukup jelas bahwa amanat yang dipikul oleh orang-orang yang memegang kekuasaan politik tidaklah ringan. Karena di samping dua tugas tersebut yang juga tidak kalah pentingnya adalah amanat yang berkaitan dengan usaha membangun tata sosial yang lebih menyejahterakan. Dalam Islam inilah hikmah terbesar yang terkandung dalam ajaran membayar zakat yaitu; kemakmuran hendaklah tidak hanya dinikmati segelintir orang melainkan dapat didistribusikan kepada setiap warga yang memang membutuhkan. Dan yang diberi wewenang untuk mengatur itu semua adalah pemegang kekuasaan politik.

Dalam konteks inilah agama kembali memberikan dorongan kepada siapa saja yang hendak dan atau memegang kekuasaan politik untuk selalu memperhatikan dan membangun sebuah sistem yang dapat menjamin kemaslahatan semua warga atau rakyat yang telah memberikan amanat kepadanya. Inilah yang kemudian dirumuskan dalam poin selanjutnya yaitu perintah untuk menetapkan hukum dengan adil Inilah yang akan dibahas dalam tulisan di bawah ini.

Perintah Menetapkan Hukum dengan Adil

Ungkapan dalam ayat di atas yang langsung menunjuk kepada poin kedua ini adalah “dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.

Perintah dalam ungkapan ayat di atas mengisyaratkan bahwa di antara kewajiban seorang yang memegang kekuasaan politik adalah menegakkan aturan-aturan hukum yang ada dan juga membuat aturan hukum yang mungkin belum ada. Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya kita pahami apa yang dimaksud dengan hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hukum diartikan sebagai: (1) Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan penguasa atau pemerintah, (2) Undang-undang, peraturan tersebut untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa alam yang tertentu, (4) keputusan (pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim di pengadilan.

Pengertian hukum yang dijelaskan dalam kamus di atas semunya berkaitan dengan masalah kekuasaan politik. Satu sistem politik sehebat apapun tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak akan membawa kemaslahatan bersama apabila tidak didukung oleh sistem hukum yang baik dan juga penerapan hukum yang adil dan konsisten. Sebuah ungkapan yang populer di tengah masyarakat bahwa dalam sebuah tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara apabila ingin berhasil maka harus menjadikan hukum sebagai panglima.

Baca Juga: Tuhan Dalam Agama Islam

Norma hukum yang berlaku di masyarakat tentu saja berasal dari berbagai sumber. Salah satu sumber hukum yang paling baik dan paling berpengaruh adalah agama. Dari sinilah dapat dipahami betapa besar kontribusi agama dalam kekuasaan politik khususnya yang berkaitan dengan aspek hukum. Dan ini jelas sekali bahwa ada kaitan yang tidak dapat dipisahkan antara kekuasaan politik dan penegakan hukum yang adil dan bermartabat. Di samping ayat di atas cukup banyak ayat yang menegaskan pentingnya menegakkan sistem hukum dalam kehidupan masyarakat. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

Surat An-Nisaa’/4: 105.

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Ayat di atas menekankan pentingnya seseorang yang memegang kekuasaan politik untuk menegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Sebuah sistem hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak dilaksanakan oleh orang-orang yang amanah. Dan ayat di atas menekankan pentingnya keadilan dalam hukum yaitu memperlakukan sama semua warga masyarakat di depan hukum. Di hadapan hukum tidak ada warga kelas satu atau kelas dua semua sama di mata hukum. Prinsip inilah yang semestinya selalu ditegakkan oleh siapa pun yang memegang kekuasaan politik. Supaya dapat menegakkan hukum dengan adil salah satu syarat yang ditekankan oleh Al-quran adalah para aparat penegak hukum dilarang mengikuti hawa nafsu dalam menegakkan hukum. Hal ini diisyaratkan dalam Surat Al-Maai’dah/5: 48.

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ

Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.

Ungkapan yang langsung berkaitan dengan pembahasan ini adalah “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. Petunjuk tersebut sangat jelas bahwa boleh jadi salah satu sebab penyimpangan dalam penegakan hukum adalah adanya orang-orang yang diberi amanat untuk menegakkan hukum terkadang menegakkan hukum berdasarkan hawa nafsunya.

Dalam kaitan inilah mengapa Nabi Muhammad SAW begitu tegas bersabda sebagaimana terekam dalam riwayat di bawah ini.

“Bahwa suatu ketika ada seorang wanita bangsawan dari satu suku Arab yang sudah masuk Islam kedapatan mencuri. Kemudian pembesar-pembesar suku tersebut bermusyawarah untuk meminta keringanan bahkan kalau mungkin pembatalan hukuman kepada Rasulullah SAW. Mereka melobi dan meminta tolong kepada salah seorang yang dikasihi oleh Rasul yang menurut sementara riwayatkan adalah Usamah bin Zaid untuk menyampaikan maksud mereka kepada Rasul SAW. Demi mendengar permintaan, tersebut, meskipun yang meminta adalah orang yang dikasihi beliau menjawab dengan nada tegas “Wahai manusia ketahuilah salah satu yang menyebabkan kehancuran kelompok masyarakat atau orang-orang sebelum kalian adalah kalau ada pembesar yang melanggar hukum maka tidak ditegakkan hukum, sementara kalau orang kecil yang melanggar hukum buru-buru ditegakkan hukum, Nabi kemudian melanjutkan dengan nada yang sama tegasnya; “seandainya anakku (Fatimah) mencuri maka akan aku potong tangannya”.
Ayat yang senada ditegaskan dalam surat Al-Maai’dah/5: 49.

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ

Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara  mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

Dalam menetapkan hukum ungkapan ayat di atas menyaratkan harus adil. Yang harus digaris bawahi adalah bahwa penegakan hukum yang adil harus menjadi agenda utama bagi siapa pun yang memegang kekuasaan politik. Kalau seorang muslim maka tugas tersebut bukan hanya berdimensi politik, tetapi juga berdimensi ibadah.

Perintah untuk Taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri.

Ungkapan yang secara jelas menunjukkan hal tersebut adalah: “Hai orang- orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.

Siapakah yang dimaksud ulil amri dalam ayat tersebut?

Para ulama berbeda pendapat tentang makna ungkapan tersebut. Namun secara garis besar ada titik persamaan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang atau sekelompok orang yang mendapatkan tugas untuk mengurusi urusan-urusan kaum muslim baik menyangkut masalah ibadah, pendidikan, sosial, ekonomi bahkan termasuk urusan hubungan luar negeri dan juga pemimpin perang.

Baca Juga: DAKWAH ROSULULLAH PERIODE MADINAH

Menyangkut masalah ibadah umpamanya tentu yang paling memahami adalah ahlinya dalam hal ini adalah para utama yang ahli di bidang agama. Demikian halnya dengan bidang-bidang yang lain masing-masing ada ahli dan yang berkompeten serta memiliki otoritas. Mereka dapat dikategorikan sebagai ulil amri. Yang lebih penting dan itu semua adalah orang atau sekelompok orang yang mengatur, mengoordinasikan dan mensinergikan masing-masing bidang tersebut dalam satu institusi pemerintahan untuk mengatur warga demi kemaslahatan bersama. Inilah yang menjadi tugas utama pemerintah termasuk di era sekarang di negara kita.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa ulil amri dapat bersifat perorangan yang memang mendapat mandat dan wewenang dari undang- undang untuk mengatur satu urusan. Dapat juga berupa sekelompok orang, yang juga mendapat tugas untuk menjalankan satu kebijakan yang telah ditetapkan bersama. Dengan kata lain ulil amri secara khusus dapat merujuk orang atau sekelompok orang yang diberi wewenang untuk memegang kekuasaan politik.

Kesan yang muncul dari ungkapan ayat di atas adalah bahwa taat kepada ulil amri adalah bagian dari sikap orang yang beriman, sehingga ini menjadi bagian dari sesuatu yang bernilai ibadah. Sebaliknya apabila tidak mau taat maka dapat dikatakan sebagai orang yang belum melaksanakan perintah yang dianjurkan oleh agama. Dan ini menjadi jelas kalau kembali ke masalah kontribusi agama terhadap kekuasaan politik, betapa agama Islam sangat mendorong pemeluknya untuk dapat membangun sebuah tatanan bermasyarakat dan bernegara yang baik. Tujuan utamanya tentu adalah tercapainya cita-cita bersama dalam hidup bermasyarakat.

Mari kita lihat contoh di bawah ini, yang menggambarkan bagaimana kalau dalam satu komunitas ada elemen masyarakat yang tidak mau taat kepada ulil amri. Dan akhirnya berbuah kegagalan.

Contoh: Dalam peristiwa Perang Uhud yang langsung dipimpin oleh Rasulullah SAW, sebagai panglima sudah menginstruksikan bahwa apapun keadaannya divisi pasukan pemanah yang berada di atas bukit tidak boleh turun. Ketika kecamuk perang di lembah Uhud terjadi dan pasukan kafir Quraisy mulai terdesak dan akhirnya mundur, ternyata pasukan pemanah tersebut tidak mengindahkan perintah panglima perang (Nabi SAW). Mereka turun, mungkin menduga pasukan musuh sudah kalah dan mereka bersiap untuk mengambil harta rampasan. Tanda diduga pasukan musuh datang menyerang dari balik bukit dan menjadikan pasukan umat Islam kocar-kacir bahkan Rasulullah SAW terluka cukup serius.

Anda bisa bayangkan; kemenangan yang sudah di depan mata akhirnya lenyap hanya gara-gara satu elemen dalam kelompok tersebut tidak mentaati apa yang telah diinstruksikan oleh pemimpinnya. Demikian halnya dalam medan peperangan yang lain di masyarakat tentu bukan perang melawan musuh dari jenis manusia melainkan musuh bersama yaitu kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan sebagainya. Peperangan tersebut tentu juga tidak akan berhasil kalau elemen-elemen dalam masyarakat tidak mau taat kepada ulil amri.

Menarik untuk diperhatikan adalah perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul masing-masing diawali dengan kata “taatilah”, sementara terhadap ulil amri tidak disertai kata taatilah. Para ulama dalam menjelaskan hal tersebut berkesimpulan bahwa taat kepada Allah dan Rasul berarti taat terhadap Al- quran dan As-Sunnah yang masing-masing dapat menetapkan hukum tersendiri. Dan masing-masing memang memiliki otoritas sebagai bagian dari anugerah Allah untuk menetapkan hukum. Sementara taat kepada ulil amri bersyarat apabila ulil amri tersebut dalam menjalankan kebijakannya mengatur urusan umat Islam tidak bertentangan dengan Al-quran dan as- Sunnah maka tidak ada atasan untuk tidak menaatinya. Sebaliknya apabila ulil amri tersebut dalam menjalankan tugasnya bertentangan dengan Al-quran dan as-Sunnah maka umat Islam tidak wajib atau tidak boleh taat kepadanya.

Dari ungkapan ayat di atas dapat pula dipetik hikmah bahwa yang boleh diatur dan diurus oleh ulil amri hanyalah hal-hal atau urusan-urusan yang belum diatur secara jelas oleh Al-quran dan as-Sunnah. Misalnya masalah sistem pendidikan yang baik, sistem politik yang disepakati oleh warga dan lain-lain, secara spesifik Al-quran dan as-Sunnah tidak mengaturnya maka boleh dan bahkan harus diatur oleh pemerintah. Sebaliknya untuk urusan yang secara jelas sudah diatur oleh Al-Qur`an dan as-Sunnah, maka ulil amri hanya dalam posisi untuk mendorong kepada warganya untuk dapat melaksanakan hal-hal tersebut dengan cara yang baik.

Misalnya: Pemerintah tidak boleh mengatur berapa raka’at sholat wajib yang harus dikerjakan umat Islam, kapan harus dikerjakan dll. Itu semua sudah jelas aturannya. Demikian juga umpamanya bagaimana tata cara haji, pada bulan apa harus berpuasa, semua sudah diatur oleh agama. Ulil amri dalam hal ini hanya sebagai fasilitator agar umat dapat menjalankan sebaik- baiknya. Setelah Anda memahami dengan baik poin ketiga ini mari kita teruskan untuk membahas poin keempat yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan politik yang diajarkan oleh Islam dan ini Insya Allah menjadi salah satu kontribusi agama Islam bagi pembangunan bidang politik yang bermartabat.

Kembali kepada Al-quran dan as-Sunnah

Ungkapan yang secara langsung menunjukkan perintah tersebut adalah “kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”. Sebuah fakta terhidang di hadapan kita bahwa tidak semua persoalan ada penjelasannya secara rinci dalam Al-quran dan as-Sunnah. Dalam kedua sumber suci tersebut hanya memuat ketentuan-ketentuan pokok bagi kehidupan manusia. Dan harus diyakini bahwa petunjuk tersebut sudah sempurna dan dapat menjadi pegangan hidup bagi manusia.

Kesempurnaan ajaran Islam ini diungkapkan dalam surat Al-Maai’dah/5: 3.

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Artinya: … pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ….
Demikian juga dalam surat Al-An’aam/6: 38.

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ

Artinya: Ayat 38. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

Karena rinciannya tidak ada maka sangat mungkin apabila timbul masalah baru akan memunculkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menetapkan status hukumnya. Nah ungkapan ayat di atas memberi solusi bahwa apabila terjadi perbedaan pendapat maka yang harus menjadi kesepakatan bersama adalah kembali kepada Al-quran dan Sunnah.

Untuk lebih jelasnya coba Anda perhatikan contoh di bawah ini.

Pada masa Rasulullah SAW belum dikenal institusi keuangan sistem perbankan. Tetapi untuk zaman sekarang hampir mustahil kalau orang yang menjalani hidup yang wajar khususnya di kota besar dapat menghindar dari sistem perbankan. Pastilah pernah mengetahui dan bahkan pernah berhubungan. Karena Al-quran dan Sunnah tidak mengatur dan praktek pada masa rasulullah SAW tidak ada maka menjadi tugas para ulama (ulil amri) untuk menetapkan status hukum perbankan. Dari sinilah kemudian para ulama mengerahkan kemampuannya untuk berijtihad. Ijtihad yang dilakukan harus berpijak kepada hukum pokok yang disebutkan Al-quran atau sunnah. Inilah salah satu makna kembali kepada Al-quran dan Sunah.

Tentu Anda bisa mencari contoh lebih banyak lagi di sekeliling kita dalam bidang apapun. Dan pastikan ajaran agama memberi solusi terhadap permasalahan baru yang muncul. Kalau terkesan tidak memberi solusi maka persoalannya ada pada keterbatasan kita dan boleh jadi ketidakseriusan manusia dalam mengajarkan ajaran agama.

Setelah kita menyelesaikan bagian poin A yaitu tentang prinsip-prinsip kekuasaan politik yang diajarkan oleh Islam dan itu dapat menjadi salah satu kontribusi agama Islam dalam wacana kekuasaan politik yang berkembang, maka seperti yang telah disampaikan di muka kita akan meneruskan dengan membahas tentang kriteria ideal yang diajarkan oleh Islam bagi seseorang yang memegang kekuasaan politik. Dan setiap orang yang ingin terjun ke dunia politik, boleh jadi salah satunya adalah Anda yang sedang belajar di UT ini, maka akan lebih baik memahami poin ini.

KRITERIA PEMEGANG KEKUASAAN POLITIK YANG BAIK

Di samping Al-quran yang begitu banyak berisi petunjuk untuk menjadi pemegang kekuasaan politik yang baik, tentu kita tidak dapat melupakan apalagi mengesampingkan kepemimpinan yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW. Anda tentu masih ingat dengan empat sifat yang melekat pada diri Rasul sebagai seorang utusan Allah:

  1. Shidiq, (selalu berkata benar).
  2. Amanah (tepercaya).
  3. Tabligh (menyampaikan).
  4. Fathonah (cerdas).

Kriteria yang akan kita jadikan pokok bahasan dalam poin ini tidak akan jauh-jauh dari empat kriteria di atas. Dan ada penambahan beberapa poin sebagai bentuk penjelasan akan kriteria utama tersebut. Bukan berarti poin tambahan ini tidak ada dalam diri Nabi SAW, justru sering kita dengar namun posisinya sebagai penguat di antara poin-poin di atas. Yang Paling utama adalah sifat keteladanan yang diperlihatkan oleh Rasul SAW. Dan inilah yang sudah lama hilang dari tubuh umat Islam. Itu untuk otokritik buat kita.

Sekarang tolong perhatian Anda mulai diarahkan kepada penjelasan- penjelasan di bawah ini yang akan menguraikan poin-poin tersebut di atas.

Shidiq

Kriteria pertama dari seorang pemimpin haruslah memiliki sifat jujur, yang mengindikasikan seseorang yang memiliki integritas dalam bentuknya yang sangat nyata adalah pikiran dan ucapannya selalu benar, demikian halnya dengan tindakan. Jadi ada kesamaan antara apa yang dia pikirkan, dia ucapkan dan dia lakukan itu sinkron. Poin ini dibahas secara lebih detail dalam modul lain di buku ini yaitu dalam bab pentingnya sikap jujur atau keterbukaan. Anda dapat merujuk ke sana apabila membutuhkan penjelasan lebih mendalam.

Coba Anda bayangkan kalau seseorang yang mendapat amanat untuk memegang kekuasaan politik tetapi antara ucapan dan tindakan berbeda apalagi dengan yang dia pikirkan, sehingga ada istilah lain di mulut lain di hati. Bayangkan lagi itu terjadi dalam masyarakat yang masih kental pola paternalistiknya (yaitu peran pemimpin politik masih begitu dominan bagi warganya), seperti Indonesia, maka pemimpin tersebut tentu tidak dapat menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik. Karena rakyat tidak akan mau melaksanakan apa yang dia perintahkan melihat sikapnya tersebut. Di sisi lain bagi yang selalu berkata benar tentu akan mudah mendapatkan apresiasi dari rakyat yang dipimpinnya.
Maka bagi orang yang memiliki sifat selalu shidiq ini Al-quran memujinya sebagai orang-orang yang memperoleh nikmat yang tinggi dari Allah SWT, dan disandingkan dengan para nabi. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Nisaa’/69.

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

Artinya: Dan Barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiqin orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya (69).

Dari ayat di atas Anda lihat khususnya di bagian terjemah yang sengaja untuk diberi cetak tebal adalah para shiddiqin, yaitu orang-orang yang selalu berpikir, berkata dan bertindak benar. Maka wajar dalam deretan secara berurutan kelompok orang yang selalu berkata benar hanya setingkat lebih bawah dari para nabi yang memang mendapatkan posisi yang mulia karena kemuliaan akhlaknya.

Hal ini juga dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk menjadi pemegang kekuasaan politik terlebih dalam sistem yang kurang baik, menjadi orang yang selalu berpikir, berkata dan bertindak benar bukanlah suatu yang mudah dan tanpa risiko. Namun demikian bagi yang bersedia melaksanakannya tentu membutuhkan tekad yang kuat agar kepemimpinan politik yang ada di pundaknya dapat membawa maslahat bagi yang dipimpinnya.

Tepercaya (Amanah)

Pada poin kedua ini yang perlu digaris bawahi adalah bahwa seorang yang memegang kekuasaan politik harus dapat mengemban amanat dengan baik. Di bagian atas ketika kita berbicara tentang prinsip-prinsip kekuasaan politik telah disinggung cukup banyak sehingga dalam poin ini tidak akan diulangi. Namun demikian untuk lebih memantapkan pandangan Anda tentang betapa pentingnya bagi seseorang yang memegang kekuasaan politik itu harus bersikap amanah dapat diberikan contoh ilustrasi di bawah ini:

Tokoh jahat yang paling sering diceritakan oleh Al-quran adalah Fir’aun. Anda tentu juga pernah bahkan mungkin sering mendengarkannya. Yang menjadi fokus kita adalah berkaitan dengan sifat amanah dalam kepemimpinan. Fir’aun yang menjadi penguasa bagi kaumnya, tugas utamanya semestinya adalah menyejahterakan kaumnya yang terjadi justru sebaliknya. Ribuan orang menjadi korban kekejamannya karena dipaksa untuk bekerja secara tidak manusiawi, bahkan hanya gara-gara tukang sihirnya menyatakan bahwa nanti yang akan melengserkan kekuasaannya adalah seorang anak laki-laki, maka dia menginstruksikan kepada pengikutnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir. Hal ini direkam di banyak ayat, di antaranya adalah surat Al-A’raaf/7: 127.

وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَذَرُ مُوْسٰى وَقَوْمَهٗ لِيُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَۗ قَالَ سَنُقَتِّلُ اَبْنَاۤءَهُمْ وَنَسْتَحْيٖ نِسَاۤءَهُمْۚ وَاِنَّا فَوْقَهُمْ قٰهِرُوْنَ

Artinya: Ayat 127. Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?”. Fir’aun menjawab: Akan kita bunuh anak- anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan Sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”.

Anda perhatikan pengkhianatan yang dilakukan Fir’aun terhadap rakyatnya begitu dahsyat. Maka wajar kalau Al-quran sering mengulang kisahnya agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mendapat amanat memegang kekuasaan politik. Bahwa setiap pengkhianatan terhadap amanah pasti akan menjadikan pelakunya dicap sebagai orang-orang jahat yang akan mendapat cercaan dan bahkan siksa di dunia terlebih juga di akhirat.

Setelah Anda memahami poin dua ini Anda boleh berhenti sejenak untuk merenungkan kembali dua poin di atas, dan apabila sudah merasa cukup dapat melanjutkan untuk membaca poin berikutnya yaitu, tabligh (menyampaikan).

Tabligh

Secara kebahasaan arti tabligh adalah menyampaikan. Dalam konteks sebagai salah SAW sifat yang baik dalam kepemimpinan dalam era modem ini dapat kita pahami sebagai keterampilan atau etika berkomunikasi.  Seorang yang memegang kekuasaan politik wajib hukumnya untuk memiliki keterampilan mengomunikasikan ide-ide, yang tersusun dalam sebuah rencana yang baik dan matang untuk dapat memaksimalkan potensi setiap warganya untuk mencapai tujuan bersama.

Coba Anda berhenti sejenak, dan renungkan poin ini dan cobalah untuk mencari contoh sendiri apabila seorang pemimpin tidak memiliki keterampilan menyampaikan gagasan dan ide-idenya kepada orang-orang yang akan diajak kerja sama. Tentulah kepemimpinan tidak dapat berjalan efektif, dan pada akhirnya akan berakibat kepada tidak berhasilnya tujuan bersama.

Al-quran mengajarkan beberapa cara untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Di antaranya dijelaskan dalam beberapa ayat di bawah ini; Surat An- Nisaa’/4: 63.

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا

Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (63).

Saya kira Anda sudah tahu ungkapan mana yang menunjuk etika berkomunikasi tersebut. Tetapi lebih jelasnya mari kita bahas bersama. Ungkapan tersebut adalah ” Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. Perkataan yang berbekas kepada jiwa orang yang kita ajak bicara tentu membutuhkan keterampilan komunikasi yang baik. Petunjuk yang dapat kita petik dari ayat ini adalah seorang yang memegang kekuasaan politik maka hanya akan mengeluarkan statemen yang dapat membekas dalam jiwa rakyat yang dipimpin.
Surat Al-Ahzab/33: 70.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ

Artinya: Ayat 70. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar.

Di antara etika berkomunikasi yang baik sebagai seorang pemimpin adalah ucapannya harus selalu mengandung kebenaran jauh dari kedustaan. Kira-kira apa akibatnya kalau seorang yang diberi amanah kekuasaan politik tetapi apa yang diucapkan hanyalah dusta. Tentu yang akan dirugikan bukan hanya rakyat yang dia pimpin melainkan juga dirinya sendiri. Secara lebih detail tentang pentingnya berkata benar Anda dapat merujuk ke sifat yang pertama shidiq.

Ada beberapa ungkapan lain yang diajarkan Al-quran tentang etika berkomunikasi yang semestinya dimiliki oleh seseorang yang memegang kekuasaan politik. Namun dalam tulisan ini kita tidak akan membahasnya lebih jauh, dengan pertimbangan memberikan tempat lebih luas tentang pembahasan antara lainnya yang lebih spesifik berkaitan dengan judul pembahasan.

Tiba gilirannya kita sampai poin yang keempat yaitu fathonah (cerdas).

Cerdas

Seorang yang memegang kekuasaan politik sudah seharusnya memiliki kelebihan dalam bidang kecerdasan. Kita sulit membayangkan kalau ada seorang yang memegang kekuasaan politik tetapi kecerdasan yang dimiliki pas-pasan saja. Kecerdasan yang dimaksud tentu bukan kecerdasan intelektual semata (IQ) tetapi lebih dari itu adalah kecerdasan yang bersifat majemuk yang menggabungkan beberapa kecerdasan yang dapat dimiliki oleh manusia. Terutama adalah kecerdasan yang amat dibutuhkan dalam kepemimpinan.

Kalau kita palingkan perhatian kita kepada apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW menyangkut kecerdasan dalam kepemimpinan, kita akan mendapatkan butiran-butiran hikmah yang banyak. Di antara contoh yang dapat kita baca adalah:

Suatu ketika Nabi SAW sedang bersama para sahabat berkumpul di masjid. Kemudian masuklah seorang badui yang bermaksud bertemu Rasul SAW. Tiba-tiba orang tersebut buang air kecil di masjid mungkin karena tidak tahu atau mungkin karena sudah tidak tahan sehingga dia melakukan di mesjid (jangan dibayangkan mesjid nabi saat itu seperti mesjid kita sekarang yang permanen dan mentereng). Para sahabat seketika langsung bangkit hendak menghardik orang badui tersebut, tetapi Nabi SAW memberi isyarat untuk tetap duduk dan membiarkan orang badui tersebut menyelesaikan buang air kecilnya. Setelah selesai Nabi memerintahkan untuk menyiramnya dan kemudian berdialog dengan orang badui tersebut.

Pelajaran apa yang dapat kita petik dan peristiwa tersebut. Salah satunya adalah betapa cerdasnya Nabi SAW menghadapi situasi yang demikian membangkitkan emosi. Berkat kecerdasan Nabi tersebut orang badui tersebut menyatakan masuk Islam. Apa jadinya kalau Nabi SAW membiarkan menghardik bahkan mungkin akan mengusir orang badui tersebut. Maka siapa pun orang yang mendapat amanah kekuasaan politik mutlak harus memiliki kecerdasan.

Yang terakhir dan inilah yang mungkin paling utama yang harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan politik adalah keteladanan.

Keteladanan (uswah)

Di antara poin yang paling sulit dipenuhi oleh seorang pemimpin politik adalah keteladanan. Tentu adalah keteladanan dalam berbagai aktivitas yang baik. Kalau untuk berbicara dengan pembicaraan yang menggugah tentu banyak yang dapat melakukan tetapi memberi teladan yang baik dalam berbagai bidang aktivitas kebaikan tentu bukan sesuatu yang mudah. Inilah yang ditekankan atas diri Nabi SAW yang diabadikan oleh Al-quran dalam surat Al-Ahzab/33: 21.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suatu  teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (21).

Anda baca bahwa ayat tersebut jelas menerangkan tentang pentingnya kita mengambil teladan dari Rasulullah SAW dalam segala aktivitas kita.  Dan inilah nampaknya salah satu rahasia terbesar kesuksesan misi dakwah Islam Nabi SAW yang menurut para ahli dianggap sebagai agama yang paling cepat perkembangannya di dunia.

Tuntas sudah bahasan kita tentang kontribusi agama Islam dalam kekuasaan politik. Tentu poin-poin di atas kurang lengkap dan ini justru menjadi tantangan bagi Anda untuk selanjutnya Anda jabarkan dalam  konteks yang lebih luas dalam kehidupan bermasyarakat.

Referensi:

Nurdin,Ali.dkk. 2016. Pendidikan Agama Islam.Tanggerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka. Hal  8.3

Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam Politik dalam ajaran Islam

2 thoughts on “Politik Dalam Ajaran Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Releated