Lembaga keuangan dalam sistem keuangan (financial system)

SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN

SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN

Sejarah perkembangan lembaga keuangan adalah berbeda dengan sejarah perekonomian maupun sejarah uang. Lembaga keuangan bermula dari daratan Eropa yang diawali dengan bursa komoditas pada tahun 1309. Sementara tidak diketahui persis kapan lembaga keuangan pertama kali berdiri, namun lembaga pemodal dan bank yang pertama diperkirakan muncul antara abad 15 sampai 17 di Eropa Barat dan Eropa Tengah.

baca juga: Jenis Perusahaan Berdasarkan Kegiatanya

Khusus untuk perbankan, embrio perbankan modern di wilayah ini diawali dengan munculnya beberapa bank di beberapa kota yang menjadi pusat perdagangan. Beberapa bank pertama muncul di beberapa kota misalnya Barcelona (1401), Genoa (1404), Venesia (1587), Milan (1593), Amsterdam (1609), Hamburg (1619), dan London (1694).

Salah satu tonggak sejarah penting dari perkembangan lembaga keuangan dunia adalah adanya standar emas yang berlaku antara tahun 1871 – 1932. Tonggak sejarah penting lainnya adalah berdirinya International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia) pada konferensi Bretton Wood tahun 1944. Selain itu, ditinggalkannya sistem kurs tetap pada tahun 1973, juga merupakan tonggak sejarah lain yang memunculkan berbagai inovasi keuangan dan lembaga keuangan baru yang berkembang pesat sampai sekarang.

Di Indonesia, sejarah dan perkembangan lembaga keuangan cukup dinamis. Perjalanan sejarah perbankan di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Dari arsip museum Bank Indonesia (Museum Bank Indonesia, www.bi.go.od), bank yang pertama didirikan adalah Bank Van Leening tahun 1746, kemudian diikuti Nederlandsche Handel Maatschapij yang berdiri tahun 1824. Selanjutnya seiring dengan semakin ramainya perniagaan di wilayah Nusantara dan Malaka kemudian didirikan De Javasche Bank tahun 1828, Escomptobank tahun 1857 dan Nederlandsche Indische Handelsbank tahun 1864.

baca juga: Lembaga Keuangan dan inovasi keuangan

Di samping bank Belanda, di mana Belanda adalah penguasa wilayah Nusantara waktu itu, juga berdiri bank asing lain seperti, The Chartered Bank of India, Australia and China tahun 1859, Hongkong and Shanghai Banking Corporation di tahun 1884, Bank of China tahun 1915, Yokohama Specie Bank tahun 1919, kemudian Mitsui Bank 1925. Selain itu bermunculan pula bank- bank lokal di beberapa kota yang menjadi pusat perniagaan di wilayah Nusantara, antara lain Bank Vereeniging Oey Tiong Ham tahun 1906 di Semarang, Chung Hwa Shangieh Maatschapij tahun 1913 di Medan, Batavia Bank tahun 1918 di Batavia dan Spaarbank atau Bank Tabungan di berbagai kota

Pada masa kemerdekaan, industri perbankan Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan seiring dengan perubahan tata pemerintahan dan tata politik di masa lepasnya Indonesia dari masa penjajahan. Pada awal kemerdekaan, dijiwai dengan semangat nasionalisme, pemerintah Republik Indonesia mulai mendirikan bank-bank pemerintah seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Industri Negara (BIN), dan Bank Tabungan Pos. Bank-bank ini merupakan bank yang keberadaannya cukup penting (dominan) dalam perekonomian Indonesia.

Selain bank-bank pemerintah, saat itu telah beroperasi beberapa bank swasta nasional, bank-bank asing, termasuk De Javasche Bank (DJB), yang merupakan bank bentukan pemerintah Belanda. Selain bank beroperasi pula lembaga keuangan misalnya lumbung desa, bank desa, dan yayasan kredit. Seluruh lembaga keuangan tersebut, terus berkembang, khususnya lembaga keuangan perbankan, baik bank pemerintah, bank asing maupun bank swasta. Seiring dengan perkembangan institusi perbankan di Indonesia, maka dirasa perlu adanya lembaga yang mengatur perbankan Indonesia. Pada masa itulah tepatnya pada 1 Juli 1953 berdiri Bank Indonesia.

Munculnya Bank Indonesia ini telah membuka babak baru dalam tatanan industri perbankan Indonesia, khususnya dalam hal pengawasan bank. Sebelum masa ini tidak ada lembaga yang melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional bank-bank di Indonesia. Secara legal, pada tahun 1955 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 1/1955, yang menetapkan bahwa Bank Indonesia atas nama Dewan Moneter melaksanakan pengawasan terhadap semua bank umum dan bank tabungan yang beroperasi di Indonesia.

Pada 1962 terjadi perubahan tatanan regulasi perbankan dan Dewan Moneter Indonesia. Pada saat itu Gubernur Bank Indonesia diangkat kedudukannya sebagai Menteri Urusan Bank Sentral (MUBS), dan Dewan Moneter dinonaktifkan dan segala wewenangnya, termasuk pengawasan bank. Pengawasan bank selanjutnya berada di bawah kewenangan MUBS tersebut.

Selanjutnya sejak tahun 1965, struktur perbankan di Indonesia diarahkan kepada sistem “Bank Tunggal”. Tujuan Bank Tunggal adalah untuk efisiensi dan efektivitas kontrol keuangan dan kebijakan moneter. Bank Tunggal ini diberi nama Bank Negara Indonesia melalui penetapan presiden. Bank tunggal merupakan peleburan bank-bank pemerintah, termasuk Bank Indonesia, kecuali Bapindo dan Bank Dagang Negara (BDN). Pada 31 Desember 1968, bank tunggal dibubarkan, dan bank-bank yang semula tergabung di dalam bank tunggal Bank Negara Indonesia tersebut masing-masing kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.

Tonggak sejarah selanjutnya adalah adanya deregulasi perbankan tahun 1983. Tahun ini merupakan tahun fenomenal karena adanya kebijakan deregulasi perbankan. Dengan deregulasi ini industri perbankan Indonesia berkembang cukup pesat karena banyaknya bank-bank swasta yang beroperasi, dan persaingan bank menjadi cukup ketat. Kondisi ini berlangsung sampai krisis ekonomi mulai tahun 1997/1998.

Pada masa ini, tepatnya 1 November 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah. Ke 16 bank tersebut masing- masing adalah Bank Pinaesaan, Bank Anrico, Bank Andromeda, Bank Guna Internasional, Bank Umum Majapahit, Bank Kosagraha Semesta, Bank SEAB, Bank Dwipa Semesta, Bank Industri, Bank Astria Raya, Bank Harapan Sentosa, Sejahtera Bank Umum, Bank Jakarta, Bank Mataram Dhanarta, Bank Pacific dan Bank Citra Dhanamanunggal (Jiwandono, 2000). Penutupan 16 bank tersebut nampaknya memicu krisis kepercayaan terhadap perbankan, yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi.

Pada masa paska krisis, industri perbankan Indonesia mengalami babak baru dan berkembang sampai saat ini. Saat ini industri perbankan Indonesia merupakan bagian dari sistem keuangan Indonesia yang menjadi bagian dari tatanan ekonomi global. Selain perkembangan industri perbankan, dinamika perkembangan lembaga keuangan Indonesia juga diwarnai oleh dinamika perkembangan pasar modal. Pasar modal di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam satu dekade terakhir.

Sejarah perkembangan pasar modal di Indonesia diawali sejak masa penjajahan Belanda (www.bappepam.go.id.). Meskipun belum dengan pasar modal resmi, aktivitas jual beli saham dan obligasi di Indonesia sudah ada sejak sebelum abad 19, tepatnya tahun 1880. Dalam buku “Effectengids” yang dikeluarkan Vereneging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, diungkapkan bahwa catatan transaksi awal tersebut tidak lengkap karena dilakukan tanpa organisasi resmi. Latar belakang dilakukannya transaksi jual beli saham dan obligasi di Indonesia adalah dimulainya pembangunan perkebunan secara besar- besaran oleh Belanda di Indonesia

Untuk membangun perkebunan itu Belanda membutuhkan modal yang cukup banyak, dan oleh karena itu mencari sumber dana yang dapat membiayai pembangunan tersebut. Salah satu sumber yang diharapkan adalah dari para penabung yang terdiri dari orang-orang Belanda dan orang Eropa yang memiliki penghasilan jauh di atas pribumi. Pasar penabung ini dikerahkan seoptimal mungkin, dan untuk tujuan inilah pasar modal dibangun di Indonesia.

Untuk tujuan tersebut pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Bursa ini memperdagangkan saham dan obligasi perusahaan (yaitu perusahaan perkebunan) yang beroperasi di Indonesia, Obligasi yang diterbitkan pemerintah (provinsi dan kota praja, yang dalam hal ini adalah Belanda), dan beberapa saham lain misalnya saham perusahaan Amerika yang diterbitkan di Belanda, dan saham-saham perusahaan Belanda lainnya.

Pada masa Perang Dunia I bursa Batavia ini sempat ditutup, dan baru dibuka kembali tahun 1918. Bursa ini mengalami perkembangan cukup pesat, dan oleh karenanya pada tahun 1925 dibuka bursa saham di Kota Surabaya dan disusul Kota Semarang pada tahun yang sama. Pada masa Perang Dunia II, ketiga bursa efek ini ditutup yang diawali dari penutupan bursa efek Semarang dan Surabaya, dan yang terakhir bursa efek Batavia.

Pada tahun 1950 (setahun setelah pengakuan Belanda terhadap Republik Indonesia), pasar modal di Indonesia aktif kembali yang ditandai dengan dikeluarkannya obligasi Pemerintah Republik Indonesia. Secara yuridis aktifnya kembali pasar modal ini diawali dengan diterbitkannya Undang-Undang Darurat No. 13 tanggal Tahun 1951 dan selanjutnya ditetapkan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 1952 tentang Bursa. Dengan undang-undang ini maka secara resmi pemerintah Republik Indonesia membuka kembali bursa efek Jakarta pada tahun 1952, setelah ditutup selama 12 tahun.

Meskipun telah aktif kembali, namun pasar modal pada waktu itu perkembangannya kurang baik karena adanya berbagai masalah politik misalnya sengketa Irian Barat dengan Belanda. Selain itu, adanya nasionalisasi perusahaan asing, dan tingginya inflasi pada masa Orde Lama menjadikan masyarakat kurang percaya terhadap pasar modal. Akibatnya pasar modal merosot tajam, dan Bursa Efek Jakarta ditutup kembali.

Pada masa Orde Baru pasar modal dibuka kembali. Untuk membuka pasar modal ini beberapa langkah dilakukan pemerintah antara lain diterbitkannya Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976 tentang pendirian Pasar Modal, dan membentuk Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM). Namun demikian, perkembangan pasar modal ini kurang menggembirakan. Ada beberapa hal yang diperkirakan menghambat perkembangan, antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu rumit dan ketat, dan adanya batasan fluktuasi harga saham.

Untuk mendorong perkembangan pasar modal, tahun 1987 pemerintah melakukan serangkaian kebijakan yang pada intinya melakukan deregulasi berupa penyederhanaan proses emisi, dan memberikan berbagai kemudahan pada investor. Beberapa kebijakan adalah Paket Kebijakan Desember 1987, Paket Kebijakan Oktober 1988, dan Paket Kebijakan Desember 1988.

Dengan kebijakan deregulasi tersebut, pasar modal mengalami perkembangan cukup pesat. Selanjutnya pemerintah melengkapi legalitas pasar modal dengan menerbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal. Selain diberlakukannya Undang-Undang Pasar Modal, tahun 1995 juga mulai diberlakukan sistem JATS (Jakarta Automatic Trading System). JATS adalah sistem perdagangan di lantai bursa yang secara otomatis mempertemukan harga jual dan harga beli saham. Sebelumnya sistem yang digunakan adalah sistem manual. Dengan sistem ini pasar saham Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat sampai sekarang. Perkembangan ini tentu diikuti dengan berbagai dinamika yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik, baik domestik maupun internasional. Lebih lanjut topik tentang pasar modal akan dibahas secara rinci pada Modul 8, diharapkan para Mahasiswa untuk menyimaknya.

Referensi:

Murti Lestari. 2015. Bank dan Lembaga Keuangan Nonbank. Penerbit Universitas Terbuka: Tanggerang Selatan. Hal 2.17

2 thoughts on “SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Releated